Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Mengatasi Emosi Negatif dari "Filosofi Teras"

7 November 2020   18:09 Diperbarui: 7 November 2020   18:39 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku Filosofi Teras (dok.pribadi)

Apa yang terpikir begitu kita mendengar kata filsafat? Sesuatu yang njelimet, abstrak, khayal, dan tak ada kaitannya dengan kenyataan hidup? Begitulah kebanyakan orang memandang dunia filsafat.

Filosofi Teras

Nah, tersebutlah ada seorang penulis yang menulis (kembali) tentang "ibu"-nya ilmu ini. Namanya Henry Manampiring. Judul bukunya: Filosofi Teras. Anda sudah pernah melihat atau bahkan sudah membaca buku ini?

Ini merupakan buku filsafat kuno yang tidak hanya kontekstual bahkan juga practical. Filsafat yang satu ini berkesesuaian dengan zaman sekarang dan bisa diterapkan pada di masa kini dan nanti.

Buku ini bisa disebut sebagai buku pegangan atau pedoman hidup (way of life). Disebut demikian karena filsafat yang dijelaskan di dalamnya benar-benar dalam dilaksanakan dalam praktik kehidupan kita sehari-hari.

Kisah Kelahiran Buku

Henry Manampiring berkisah tentang kelahiran buku ini. Menurut ceritanya, dulu ia sering merasa sewot alias uring-uringan, marah, dan semacamnya terhadap segala sesuatu atau setiap keadaan yang menghambat.

Kemacetan, misalnya, bisa membuatnya marah-marah sendiri. Belum lagi hal lain dalam kehidupan pribadinya yang menyebabkan dia menjadi orang yang lekas "meledak."

Nah, pada suatu saat ia pun bertemu dengan buku-buku dan artikel filsafat kaum Stoa yang hidup lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Berbeda dengan yang pada umumnya dikenal, filsafat ini -- yang selanjutnya disebut dengan Stoisisme, merupakan sebuah mazhab filsafat yang mengupas akar masalah dan solusi tentang emosi negatif manusia.

Para filsuf dalam aliran filsafat ini diantaranya Zeno, Seneca, Epictetus, Chrysippus, dan  Marcus Aurelius. Yang disebut terakhir adalah kaisar Romawi.

Filsafat Stoa atau Filosofi Teras atau Stoisisme adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu siapa pun dalam mengatasi emosi negatif dan, jika diterapkan dengan benar, akan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi dinamika kehidupan.

Demikianlah, alih-alih menggunakannya sendiri, Henry Manampiring membagikan pengetahuan filsafatnya tersebut dengan menulis buku ini. Tentu saja, sebelum menyusun buku ini, ia melakukan pembacaan dan riset dan perenungan yang mendalam agar bisa menghasilkan buku yang relevan diterapkan saat ini dan bahkan sampai nanti.

Ia pun sudah menerapkan filsafat Stoa ini dan memetik manfaat yang sangat besar. Ia menjadi jauh lebih memahami hidup, lebih sabar, dan lebih tenang. Intinya, dia menjadi jauh lebih kuat secara mental.

Marcus Aurelius (Sumber gambar: amp.businessinsider.com) 
Marcus Aurelius (Sumber gambar: amp.businessinsider.com) 
Sudah tak sabar mengetahui isinya? Mari saya perkenalkan beberapa bagian dari buku national best seller terbitan Kompas yang berketebalan 312 halaman dengan cover yang menarik ini.

Problem with Positive Thinking

Kerapkali kita mendapat imbauan untuk selalu berpikir positif (positive thinking). "Jangan berpikir negatif dulu dong. Ayo kita positive thinking saja!" mungkin demikian ajakan yang pernah kita dengar dari para sahabat atau keluarga terdekat.

Adakah ada yang salah dengan berpikir positif? Di mana kelemahan berpikir positif? Bukankah kita dilarang menanamkan kebiasaan berpikir negatif terhadap suatu persoalan? Di dalam buku ini dinyatakan bahwa mengandalkan berpikir positif saja belumlah cukup!

Disebutkan, positive thinking justru sering menghambat, menipu pikiran kita, seolah-olah kita sudah mencapai apa yang kita inginkan sehingga melemahkan keuletan kita dalam usaha mencapainya. Sebaliknya, sekadar menyuruh orang berpikir realistis saja juga tidak memberikan hasil yang lebih baik.

Berangkat dari pemikiran tersebut, diusulkan apa yang disebut dengan mental contrasting, yaitu menggabungkan positive thinking (membayangkan hasil yang diharapkan telah tercapai) dengan memikirkan juga hambatan-hambatan apa saja yang mungkin akan ditemui. 

Penelitian menyebutkan bahwa mereka yang menerapkan mental contrasting ini terbukti memperoleh pencapaian yang lebih baik daripada semata-mata mengandalkan pola berpikir positif.

Hidup Selaras dengan Alam

Di dalam Stoisisme dianjurkan untuk hidup selaras dengan alam. Apa maksudnya? Hidup yang selaras dengan alam di sini tidak diartikan sempit, misalnya hanya agar manusia dekat dengan alam lingkungan, dekat dengan tumbuh-tumbuhan, hewan, dan seterusnya.

Hidup yang selaras dengan alam dalam filsafat ini menekankan pada penggunaan nalar atau rasio oleh manusia. Karena, penggunaan rasio adalah fitrah manusia yang selaras dengan alam. "Mereka yang religius akan memandang nalar atau rasio sebagai sebuah karunia dari Sang Pencipta..," demikian ditulis dalam buku ini. Rasionalitas merupakan fitur unik dari manusia.

Tanpa menggunakan nalarnya, manusia bisa dengan mudah tergelincir menuruti hawa nafsu atau emosi negatif. Dan, emosi negatif ini lalu mewujud menjadi kata-kata dan tindakan negatif. Banyak kegaduhan terjadi karena orang tidak menggunakan nalar-nya, lebih mengedepankan emosi negatif dan hawa nafsu.

Hidup manusia yang selaras dengan alam, di samping menggunakan rasio, juga dicirikan dengan kebutuhannya sebagai makhluk sosial (social creatures). Manusia hidup sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar.

Dikotomi Kendali

Dalam menjalani kehidupan ini, kita senantiasa menghendaki keberhasilan, ingin segalanya lancar-lancar saja, dan kita berharap bisa sukses pada akhirnya. Tetapi, kenyataannya, apa yang terjadi? Alih-alih keberhasilan, ternyata kegagalan juga terjadi dalam kehidupan kita.

Bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam hal ini berdasarkan pemikiran filsafat Stoisisme? Disebutkan, dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kendalikan (kontrol) dan ada pula hal-hal yang di luar kendali kita.

Ada sejumlah faktor di luar kendali kita yang ikut menentukan keberhasilan itu. Hal inilah yang harus disadari. Keberhasilan dan kegagalan kita sebagian ada di luar kendali kita. Oleh karena itu, tingkat keberhasilan kita tak seratus persen tergantung pada kita.

Yang bisa kita kendalikan, menurut filsafat ini, adalah persepsi, pendapat, atau opini kita. Yang kita bisa kendalikan adalah respons kita terhadap kejadian atau peristiwa yang menimpa kita.

Sedangkan sebagian dari hasil atau peristiwa yang terjadi belum tentu dalam kendali kita. Hal yang berada di luar kendali kita antara lain pendapat atau opini orang lain terhadap kita.

Epictetus, salah seorang penganut aliran Stoisisme, menulis, "Somethings are up to us, some things are not up tu us."  Ada hal-hal di bawah kendali (tergantung pada kita) dan ada pula hal-hal yang tidak di bawah kendali (tidak tergantung) pada kita.

Nah, saya sudah mengulas buku ini lumayan panjang. Dari buku ini kita akan banyak belajar bagaimana mengatasi emosi negatif, menjadi lebih sabar dan tenang serta memperkuat ketangguhan mental kita. 

( I Ketut Suweca, 7 November2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun