Sebagian materi pelajaran mungkin bisa diserap dengan baik, tetapi sebagian lagi masih menjadi tanda tanya. Apalagi bagi siswa yang daya tangkapnya agak terbatas. Mereka akan kesulitan dalam berkomunikasi dengan gurunya secara intensif sebagaimana didapatkannya sebelum sistem ini diberlakukan.
Di samping itu, para siswa mau tak mau akan lebih banyak mengurung diri di rumah demi mengikuti pelajaran. Ia mesti memelototi HP atau laptop dari hari ke hari; sesuatu yang secara psikologis sangat menjemukan.
Kebosanan dengan pola baru ini akan membawa anak pada ketidakmampuan berkonsentrasi pada mata pelajaran yang diberikan. Apalagi, mereka ada yang tergoda oleh hal-hal lain yang lebih menarik perhatian. Berbeda dengan di kelas, mereka sudah disatukan sedemikian rupa, sehingga guru akan jauh lebih mudah mentransfer ilmu dan mengawasi mereka.
Belum lagi persoalan kebutuhan berinteraksi atau bersosialisasi yang sangat dibutuhkan oleh para siswa yang tengah bertumbuh. Mereka butuh bermain dan bergaul dengan teman-temannya. Kemampuan berinteraksi mereka dilatih dari sini. Nah, bagaimana kalau kemudian karena sistem dan keadaan mereka terpaksa harus berdiam di rumah saja untuk belajar daring?
Sahabat saya, Dr. I Nyoman Gede Remaja, dekan fakultas hukum sebuah universitas swasta di Bali melalui media sosial berkomentar, bahwa dalam pendidikan diperlukan adanya interaksi yang intensif antara pengajar dengan peserta didik, ada komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan secara bersamaan, tentu ini memberikan manfaat bagi peserta didik.
Ia juga menilai pengaruh sistem baru ini terhadap kesehatan mata si anak dan tingkat stress yang dipastikan akan semakin tinggi. "Belum lagi kalau tanpa pengawasan dari orangtua, akan lebih banyak menimbulkan dampak negatif ketimbang positifnya," tulis doktor ilmu hukum ini.
Ia berharap, setelah pandemi ini sistem pembelajaran dikembalikan seperti semula, seperti saat sebelum covid-19. Pendidikan yang masih didasarkan dengan online, menurutnya, kurang tepat jika diteruskan. "Pendidikan langsung jauh lebih bermanfaat dan efektif ketimbang melalui online," tulisnya.
Bagaimana dengan Guru Kita?
Ketiga, faktor guru. Para guru (pendidik) tak kurang repotnya. Bayangkan, di samping harus menyiapkan materi khusus untuk pembelajaran online, guru pun mesti mengurus seabreg pekerjaan rumah secara bersamaan.
Rumitnya lagi, bagi guru yang mempunyai anak sekolahan juga, maka di samping mesti mengajar para siswanya di mana dia mengajar secara online, ia harus pula menemani anaknya sendiri belajar di rumah.
Banyak guru terpaksa harus belajar bagaimana memanfaatkan teknologi, kendati sudah berumur. Banyak yang merasa gagap teknologi (gaptek). Bagi sebagian besar dari mereka tentu akan memilih pola tatap muka daripada pola online seperti ini.