Pada Hari Buku Nasional yang kita peringati setiap tgl. 17 Mei, mari sejenak melakukan refleksi mengenai pembacaan kita, khususnya membaca buku. Sudahkah kita secara kontinyu  membaca buku? Atau, seperti pertanyaan Bapak Presiden Joko Widodo: buku apa yang sudah Anda baca selama pandemi?
Pertanyaan itu, mau tak mau, mengharuskan kita untuk melihat ke diri sendiri dan kegiatan kita yang berkaitan dengan membaca buku selama ini. Kemudian, kita harus berani mengatakan apakah kita memang sudah rutin dan rajin membaca?. Apakah kita benar-benar memanfaatkan  buku bacaan untuk peningkatan kualitas diri?
Terjerat Kebodohan
Terkait membaca, banyak manfaat yang bisa kita petik. Banyak situs dan referensi lainnya yang dengan gamblang menjelaskan betapa besarnya manfaat membaca buku, baik buku cetak (printed) maupun e-book.
Tetapi, pernahkah kita memikirkan risiko jika kita "alergi" membaca, apalagi dalam waktu lama, bahkan seumur hidup? Saya merasa perlu menuliskannya dengan harapan agar kita segera ngeh untuk mulai menjadi orang yang gemar membaca.
Paling tidak beberapa risiko yang akan diterima bagi mereka yang alergi membaca buku, suatu pesan yang acap saya sampaikan kepada anak-anak di rumah, keponakan, dan lainnya. Â
Risiko pertama yang harus ditanggung lantaran orang tak suka membaca adalah dia akan terjerat dalam kebodohan. Kebodohan adalah salah satu aspek dari keterbelakangan. Maukah kita di-cap bodoh oleh teman atau masyarakat sekitar hanya karena tidak suka membaca? Orang yang selama hidupnya tak suka membaca, maka selama hidupnya juga akan menjadi orang bodoh.
Risiko kedua bagi mereka yang malas membaca adalah dia dengan mudah dibohongi dan diolok-olok orang lain. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan, maka orang lain yang berniat buruk dengan sangat gampang membohongi atau mengolok-oloknya. Maka, jangan jadi orang bodoh, karena orang bodoh menjadi mainan orang lain.
Risiko ketiga bagi orang yang malas membaca adalah dia sulit berprestasi. Di sekolah, misalnya, sulit baginya untuk meraih nilai ulangan atau rapor yang baik. Ia bisa jadi hanya mengandalkan contekan saat ujian atau mengandalkan teman duduk di sebelahnya untuk membantu menjawab soal. Jika diberi tugas membuat karya tulis, maka ia boleh jadi akan mengandalkan jurus copy paste tanpa  mau berpikir.
Sulit Maju dalam Pekerjaan
Risiko keempat bagi orang yang alergi membaca ialah dia akan kesulitan untuk maju dalam pekerjaan. Orang seperti ini tidak tertarik mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan di bidangnya. Selalu bersikap masa bodoh dalam hal yang satu ini. Akibatnya, tak seorang pun mampu menolongnya dari keterpurukan ini. Kendatipun ada yang berniat membantu, tapi dia sendiri tak ada keinginan untuk maju, bagaimana bisa?
Risiko kelima yang dialami oleh orang yang malas membaca adalah ia hanya akan mendapatkan mengerjakan pekerjaan fisik, tak bisa meraih pekerjaan yang mengandalkan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Akibat ikutannya, sulit baginya untuk mendapatkan penghasilan lebih tinggi karena keterbatasan pengetahuan dan skill yang dimiliki. Ia hanya bisa mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan kemampuan fisik belaka.
Tak Bisa Menjadi Pemimpin
Risiko keenam bagi mereka yang malas membaca adalah akan sulit baginya membina karier untuk menjadi pemimpin. Mengapa? Untuk bisa menjadi pemimpin, maka orang pada awalnya adalah pembaca yang lahap. "Pada awalnya adalah pembaca, pada akhirnya adalah pemimpin," demikian kata orang bijaksana.
Untuk menjadi pemimpin pada masa kini, orang harus memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas dan dalam. Tidak bisa tidak! Semua itu dibutuhkan agar ia mampu membuat berbagai pertimbangan ketika hendak mengambil keputusan. Nah, jika tak memiliki wawasan dan ilmu yang memadai, bagaimana bisa mengambil keputusan dan memimpin orang lain?
Jadi, daripada menjadi orang bodoh yang selalu tersisih dari kompetisi dan mudah diolok-olok orang lain, lebih baik menjadi orang cerdas dan berilmu pengetahuan yang selalu ditunggu dan digugu.
Untuk itu, kita perlu rajin membaca secara berkesinambungan. "Jangan ada yang lengah. Bisa menyesal nanti,"Â itulah yang saya tekankan kepada anak-anak di rumah.
(Â I Ketut Suweca, 18 Mei 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H