Yang sering kulihat, engkau duduk di kursi dekat meja di mana kau tempatkan aku. Di atas meja kau letakkan sebuah peralatan yang tak kutahu namanya. Kulihat engkau menghentak-hentakkan ujung jari tangan kanan-kirimu di atasnya. Begitu seterusnya sampai lama. Sesekali kulihat engkau bangun, mengambil gelas, mengisinya dengan air dan meneguknya.
Waktu berlalu. Sebulan lamanya aku sudah di sini. Terkadang engkau menyentuhku tetapi hanya untuk merapikan posisiku bersama yang lain. Kurasa engkau adalah orang yang suka kerapian. Buktinya, aku dan teman-temanku, juga seluruh perabotan rumah tak ada yang  ambyar. Semuanya berada di tempatnya. Dan, aku suka kerapian ini.
Tetapi, aku mulai bosan menunggu jamahanmu. Aku mulai jenuh hanya ditumpuk seperti ini. Sudah tiga bulan aku di sini. Sebetulnya aku berharap engkau tak sekedar merapikan kami, seperti yang engkau lakukan terhadapku dan kawan-kawan, bahkan seharusnya juga melihatku dengan saksama dengan sorot mata ingin tahu.
Biar kujelaskan bahwa sesungguhnya aku bukan hanya lembaran-lembaran kertas yang di dalamnya tertera banyak sekali simbol-simbol yang berupa huruf-huruf dan angka-angka.
Agar kau tahu bahwa aku dihadirkan di dunia ini tak sekadar untuk pajangan, melainkan untuk dibedah isiku, dipahami keberadaanku, dan  digali nilai-nilaiku. Tapi, hingga lebih tiga bulan kau tak melakukan itu.
Tahukah engkau bahwa aku tak hanya sekumpulan kertas melainkan memiliki kandungan berharga yang tak ternilai? Kamu harap mengerti, ya, kalau aku ini adalah kumpulan pemikiran ahli. Aku adalah perwujudan pemikiran ilmuwan. Aku merupakan kristalisasi dari gagasan-gagasan bernas. Â Aku dibuat dan diusahakan dengan segenap upaya yang memakan waktu, tenaga, pemikiran yang dalam, dan biaya yang tidak sedikit.
Jika engkau tak menjamahku, maka percuma sejumlah pohon yang terpaksa ditebang untuk membuatku, dulu. Akan percuma kandungan gagasan yang memenuhi hampir sekujur tubuhku. Dan, akan rugi engkau membayarku dengan sejumlah lembar-lembar merah berharga itu. Kuminta, tolong jangan mencampakkanku.
Entahlah, apa engkau mengerti yang kupikirkan. Karena, aku tak bisa berkata-kata denganmu. Aku menyayangkan jika engkau terus saja tak memedulikanku. Aku akan segera menjadi tua, lapuk, buruk rupa, dan tak berguna. Dan, engkau pun pasti akan membuangku sebelum aku sempat mengabdikan diri untukmu sesuai dengan tujuan kelahiranku.
(Â I Ketut Suweca, 12 Mei 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H