Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/703335666778931379/
Sahabat kompasianer, mengisi waktu work from home (WFH), saya kembali lagi untuk berbagi. Kali ini topik yang kita perbincangkan tentang dunia tulis-menulis dari tiga orang guru. Ketiga guru tersebut bukanlah guru sebenarnya yang mengajar di sekolah, melainkan lebih dekat maknanya sebagai pembimbing secara informal.
Ketiga guru itu sudah memberikan pemahaman yang dalam tentang dunia tulis-menulis sekaligus memotivasi saya untuk terus menulis. Tiga nama guru yang berjasa tersebut, yakni Widminarko, Sunaryono Basuki Ks, dan The Liang Gie. Â Â Ketiganya adalah para "guru" hebat yang sarat dengan pengalaman.
Pelajaran dari Bapak Widminarko
Widminarko adalah nama yang sangat dikenal di lingkungan wartawan di Bali. Beliau seorang jurnalis dan redaksi senior Bali Post Group dengan tugas terakhir sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid TOKOH sebelum memasuki masa pensiun.Â
Tidak hanya itu, jika ditelusuri perjalanan hidup beliau lebih jauh, Pak Widminarko juga pernah terlibat dalam organisasi kepemudaan, kemudian menjadi wakil rakyat di Bali pada zamannya.
Ketika menjadi Pemempin Redaksi Tabloid TOKOH, saya terlibat menjadi kontributor naskah. Pak Widminarko-lah yang sering menghubungi saya agar ikut menulis untuk mengisi salah satu ruang atau kolom di tabloid yang dipimpinnya.
Ada beberapa hal yang selalu saya ingat dari Pak Widminarko. Diantaranya dikatakan, agar jangan  lekas puas dengan hasil wawancara terhadap tokoh yang diwawancarai.Â
"Galilah lebih dalam sehingga kita mendapatkan bahan yang lengkap. Dengan begitu, kita akan lebih mudah mengembangkan ke dalam bentuk tulisan yang lengkap dan padat," anjurnya.
Di samping itu, Pak Wid ---demikian saya sering memanggilnya, mengingatkan untuk menggunakan bahasa dengan cermat. Ia menganjurkan untuk mempelajari buku-buku tentang berbahasa Indonesia. "Bekali diri dengan buku-buku jurnalistik dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar," tambahnya.
Sejak saat itu, saya membeli beberapa judul buku tentang Bahasa Indonesia serta buku Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang tebal itu.
Pelajaran dari Bapak Sunaryono Basuki Ks
Prof. Sunaryono Baskui Ks adalah dosen di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Beliau dipanggil Tuhan belum lama ini. Kendati telah tiada, kenangan saya dengannya demikian melekatnya.
Pak Bas -- demikian saya menyebut beliau, adalah seorang sastrawan yang dimiliki Indonesia. Banyak novel yang lahir dari tangannya. Ada juga sejumlah cerpen dan esai yang dimuat di sejumlah media, diantaranya di koran cetak Kompas.
Apa yang saya pelajari dari Pak Bas tentang dunia tulis-menulis? Pak Bas telah memperkenalkan saya pada karya-karya sastra. Almari di ruang tamu rumahnya sarat dengan karya beliau. Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah tentang pengalaman imajiner beliau saat menulis.
Tokoh-tokoh imajiner yang ditulis ke dalam karya sastra seringkali menghadirkan dirinya sendiri begitu saja dengan peran masing-masing. "Jika sang tokoh itu saya arahkan berperan begini atau begitu, mereka pasti menolak. Mereka hadir dan saya tulis apa maunya. Tidak bisa diatur-atur. Jadi, saya tak lebih sebagai tukang ketik," kata mantan dosen yang juga pesilat ini.
Pak Bas mendorong saya agar senantiasa memperluas perbendaharaan kata. Kosa kata yang luas akan memudahkan menuangkan pikiran ke dalam bentuk karya tulis. "Untuk meningkatkan kosa kata, banyaklah baca buku. Tak hanya buku-buku ilmiah, juga buku-buku sastra," ia mengingatkan.
Pelajaran dari Bapak The Liang Gie
Bapak The Liang Gie, penulis sejumlah buku, juga sudah meninggal dunia. Saya mengetahui hal itu ketika 2 tahun lalu tugas ke Jogjakarta. Pada suatu kesempatan saya menyusuri kawasan yang terkenal di Jogja, yaitu Malioboro. Tujuan saya adalah mencari toko buku di seputar itu.
Melangkah bersama seorang kawan, akhirnya saya menemukan sebuah toko yang menjual buku. Kepada penjaga toko saya bertutur bahwa saya punya seorang "guru" menulis yang bernama Bapak The Liang Gie. Saya tanya kepada penjaga toko yang sudah berumur itu.
"Ijin Bapak, mau tanya, apakah Bapak mengenal nama Bapak The Liang Gie?," tanya saya sambil melihat-lihat deretan buku yang terpajang.
"Oh ya, saya tahu," jawabnya.
"Tapi, beliau sudah lama meninggal," ujarnya sambil menyebut alamat rumah Pak The Liang Gie.
Sebetulnya, ada niat saya untuk menyambangi  kediamannya, tapi karena sudah meninggal, ya, rencana itu saya batalkan.
Sejatinya saya tidak kenal langsung dengan Pak The Liang Gie. Tidak pernah sekali pun bertemu langsung. Saya sebut beliau sebagai guru karena saya belajar dari lembaga Akademi Kepengarangan yang beliau dirikan. Saya mengambil kursus menulis dari lembaga tersebut saat itu.
Beberapa buku beliau kirim kepada saya untuk dipelajari. Sejumlah tugas menulis secara mandiri harus saya kerjakan, dengan tulisan tangan. Istimewanya, koreksi atau tanggapan terhadap tulisan yang saya berbentuk tulisan tangan pula dari Pak The Liang Gie. Saya masih ingat, tulisan tangan beliau sangat rapi dan indah, seperti tulisan para guru zaman dulu.
Apa yang saya pelajari dari Bapak The Liang Gie? Banyak sekali  materi tentang tulis-menulis beliau berikan. Bahkan, beliau mengirimi saya beberapa buku-buku nyang sangat berguna secara gratis. Â
Terima kasih guru. Maafkan muridmu yang tak kunjung naik kelas ini, hiks..
 ( I Ketut Suweca, 27 April 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H