Entah di mana saya mendapatkan kata-kata yang kini saya pakai sebagai judul tulisan ini. Yang jelas, kalimat itu tidak orisinal dari saya. Saya berharap tidak ada satu pun sahabat yang merasa tersinggung atas perintah atau lebih tepatnya, ajakan, dari judul di atas. Saya paham sekali jika sahabat semua sudah tidak perlu didorong-dorong lagi untuk menulis. Sudah menulis dengan sendirinya. Mengalir....
Saya membuat judul dan artikel ini semata-mata untuk "memanaskan mesin" sendiri. Saya katakan memanaskan mesin, karena saya harus memotivasi diri dulu sebelum melahirkan tulisan. Setelah mesin penulisan panas, barulah proses berikutnya menjadi lancar. Persis seperti mobil berbahan bakar solar yang akselerasinya agak lambat awalnya. Kalau sudah lewat ia akan cuuiiing...melesat.
Bukan Kehabisan Kata-kata, Melainkan Kehabisan Ide
Kehabisan kata-kata? Saya kira kita tidak akan pernah kehabisan kata-kata ya? Kata-kalimat sudah kita pelajari dan pergunakan dalam waktu yang lama. Jumlah kata-kata yang kita kuasai pun bertambah terus secara akumulatif. Kata-kata itu harus terus dipergunakan alias diaktifkan, karena jika tidak, ia akan menjadinya kata-kata pasif dan bisa sulit dipanggil ketika kita membutuhkan kehadirannya dalam penulisan.
Sejatinya, kita tidak akan pernah kehabisan kata-kata. Yang bisa "habis" adalah gagasan --walaupun ini bersifat sementara dan sewaktu-waktu. Jika gagasan ada banyak, maka akan relatif mudah mengekspresikannya ke dalam bentuk tulisan. Apalagi bagi seorang penulis yang mahir. Jika gagasan yang diharapkan belum muncul, ya tak bisa menulis.
Kata-kata tertulis itu sudah kita dapatkan dari proses literasi kita yang panjang, bahkan sejak mulai belajar membaca. Nah, karena tak kekurangan kata-kata, maka kita akan dapat mengekspresikan pikiran ke dalam bentuk tulisan dengan lancar. Â Tinggal menulis dan menuliskan saja.
Yang Penting Kemauan Menulis
Sampai di sini saya teringat ajakan ahli ekonomi UGM Â Prof. Mudrajad Kuncoro, dalam sebuah bukunya. Dalam buku ini beliau bukan membahas tentang permasalahan ekonomi, melainkan tentang ilmu kemahiran menulis. Untuk maklum, di samping sebagai ahli ekonomi yang terkenal, beliau juga seorang penulis yang piawai.
Saya suka artikel dan buku-bukunya yang padat-berisi dan jelas. Kendati pada dasarnya materi yang disampaikan cukup berat, tapi melalui tangan beliau, segala sesuatunya akan menjadi mudah dipahami. Ilmu menerjemahkan hal---hal yang rumit dan pelik menjadi mudah dan jelas sudah benar-benar dikuasai.
"Wah saya tidak punya waktu menulis," begitu tulis Prof. Kuncoro menyitir pendapat kebanyakan  orang yang memiliki niat besar untuk menulis tapi tak kunjung menulis. Seperti disampaikan guru besar ilmu ekonomi UGM Jogjakarta ini, permasalahan yang dihadapi banyak orang bukan pada persoalan tak punya waktu. Itu hanya dalih. Yang menjadi alasan sesungguhnya adalah tidak memiliki kemauan yang kuat untuk menulis.
Saya sependapat dengan guru besar yang banyak menulis artikel opini di berbagai media ini. Banyak orang yang berkeinginan menjadi penulis, tapi hanya sampai batas keinginan. Mereka tak punya kemauan yang cukup untuk menulis. Keinginan ada, tapi kemauan kuat untuk mewujudkannya yang belum ada.
Tiga Syarat Menjadi Penulis
Adakah rahasia yang belum tersingkap tentang dunia tulis-menulis? Saya kira tak ada lagi. Apa yang telah menjadi kebiasaan baik dari para penulis kondang dan hebat di masa silam, tinggal kita tiru, kita terapkan. Bahkan ada yang bilang bahwa  untuk mahir menulis hanya diperlukan tiga syarat sederhana. Apa itu? Pertama menulis, kedua menulis, dan ketiga menulis!
Jadi, bagaimana? Praktiklah yang terpenting. Percuma belajar banyak teori kalau tidak dipraktikkan. Percuma mengkhayal menjadi penulis jika tak kunjung menulis. Seperti orang yang ingin belajar berenang tapi tak berani terjun ke air, ya, sampai kapan pun tak bakal bisa menjadi perenang. Yang penting, praktik, praktik dan praktik menulis. Saya kira sahabat di kompasiana sepakat tentang hal ini. Praktik menulislah yang paling utama.
Untuk bisa praktik menulis, maka harus menyediakan waktu untuk menulis. Kendati banyak memiliki kesibukan, jika ada kemauan keras, maka akan selalu ada waktu untuk menulis, entah pagi, siang, sore, atau pun malam hari. Yang penting bisa menulis secara konsisten.
Nah, konsistensi inilah yang relatif sulit. Diperlukan upaya keras untuk merawat semangat menulis agar bisa menulis secara konsisten. Bagi saya, yang penting adalah tetap menulis, entah menulis setiap hari, setiap dua hari, dan seterusnya.
Yang terpenting adalah jangan pernah berhenti menulis. Mematikan mesin penulisan sebaiknya dihindari, apalagi dalam waktu lama. Menghidupkannya kembali menjadi sesuatu yang sulit dan memerlukan energi ekstra. Bukankah begitu?
(I Ketut Suweca, 11 April 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H