Mereka sangat bersemangat. Mereka rela mengeluarkan biaya dengan gotong royong berapapun diperlukan. Asal, ogoh-ogoh yang dihasilkan tidak mengecewakan saat ditampilkan.
Di beberapa wilayah, ada rencana ogoh-ogoh ini dilombakan. Ada hadiah, ada piagam penghargaan bagi sang juara. Bagaimana tidak semangat? Ketiadaan pementasan ogoh-ogoh tentu membuat sedih, tentu, apalagi sudah dipersiapkan sejak awal.
Virus coronalah yang menjadi biang kerok. Gara-gara virus yang mematikan ini, acara tahunan menjelang Nyepi itu, terpaksa ditiadakan.Â
Pemerintah daerah dan lembaga adat di daerah ini sudah mengeluarkan ketentuan agar tidak ada aktivitas mengarak ogoh-ogoh. Maksudnya adalah untuk mengurangi kerumunan massa dan interaksi langsung di antara mereka karena sangat berisiko terpapar virus corona.
Sebagai gantinya, Gubernur Bali, I Wayan Koster, akan menggelar Festival Ogoh-ogoh pada Hari Jadi Pemprov Bali Agustus mendatang.
Masyarakat Patuh
Bersyukur masyarakat, khususnya generasi muda, segera memahami maksud baik pemerintah daerah dan lembaga adat. Mereka semua patuh. Mereka paham bahwa kebijakan tersebut diberlakukan adalah semata-mata untuk keselamatan dan kesehatan bersama.
Alhasil, tak ada satu pun ogoh-ogoh dipentaskan. Semua ogoh-ogoh masih teronggok di tempatnya dibuat. Ada yang di pinggir jalan atau di tempat lapang lainnya. Gelegak semangat, tepuk sorak seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada lagi.
Bali sepi, menyepi, bahkan sebelum Nyepi. Dalam sepi ada hening. Dalam hening terbuka kesempatan mawas diri. Dalam mawas diri kehidupan diperbaharui. Menghaturkan sembah bakti kepada-Nya seraya mengendalikan diri.
( I Ketut Suweca, sehari setelah Hari Raya Nyepi, 26 Maret 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H