Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sejatinya, Kita Menulis untuk Siapa?

22 Maret 2020   13:56 Diperbarui: 27 Maret 2020   18:19 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: https://www.pinterest.com/pin/638807528378067779/

Sahabat kompasiana yang baik hati. Kita sungguh bersyukur ada di sini, menjadi bagian dari kompasiana. Di platform ini kita bisa menjalin persahabatan dan saling berbagi informasi dan pengetahuan tentang berbagai hal. Dengan melakukan itu, semua dari kita, akan mendapatkan kebermanfaatannya.

Pada kesempatan ini, ijinkan saya membahas sedikit tentang dunia tulis-menulis, sekaligus untuk jeda beberapa menit dari riuh berita seputar virus corona. Semoga hal ini bisa membuat kita sedikit lebih santai.

Proses Pengayaan Diri

Pertanyaan dasarnya adalah, untuk apa atau untuk siapa kita menulis di platform ini? Jawabannya, mungkin untuk pembaca media bersama ini. Di kompasiana kita berbagi gagasan kepada para pembaca. Benar sekali!

 Akan tetapi, mungkin juga bagi kita menulis di kompasiana dan media lainnya bertujuan untuk pengayaan pengetahuan. Artinya, dengan kontinuitas menulis, kita harus berusaha untuk senantiasa mendapatkan inspirasi yang berasal dari berbagai sumber. Entah dari tulisan para sahabat di sini, koran, majalah, buku, dan sumber internet, atau lainnya.

Dengan kata lain, untuk bisa menulis, kita harus banyak membaca, banyak mendengar, banyak memperhatikan dan mengamati lingkungan dan sebagainya. Hanya dengan begitu, kita akan mendapatkan inspirasi penulisan. Intinya, untuk bisa menulis, kita harus rajin menyerap berbagai informasi dari berbagai sumber.

Hal ini berarti bahwa untuk bergiat di bidang tulis-menulis, mau tak mau, kita mesti melakukan upaya pengayaan diri dengan berbagai pengetahuan. Kita tidak akan bisa menulis secara bernas (berbobot) apabila tidak ada konten berkualitas yang kita serap dan miliki. Untuk memberi, kita harus mempunyai, bukan? Dengan demikian, kita menulis adalah untuk diri sendiri:  melakukan proses pengayaan diri.

Proses Internalisasi Nilai

Seperti disampaikan di atas, kegiatan menulis mengharuskan kita menggali bahan dari banyak sumber, tak melulu dari akal sehat atau dari pengetahuan yang telah kita punyai. Informasi yang kita peroleh dari berbagai sumber kita padukan dengan apik dengan pengetahuan kita. Proses mixing ini diharapkan akan membuat konten tulisan kita lebih berkualitas sehingga diharapkan lebih bermanfaat bagi pembaca.

Apa yang kita tulis itu belum tentu sudah menjadi bagian dari perilaku kita yang sesungguhnya. Dia mungkin baru sebatas pengetahuan dan wawasan pada level kognitif, belum ke level sikap, apalagi ke level perilaku dan kebiasaan hidup. 

Seperangkat pengetahuan yang kita miliki belum tentu mencerminkan perilaku keseharian kita. Diperlukan proses internalisasi yang lebih dalam untuk sampai pada level perilaku.

Dengan menulis dan membagikan gagasan kepada pembaca, sejatinya kita sudah melakukan pergerakan dari level kognisi ke level sikap bahkan ke level perilaku. Kalau, misalnya, saya mengajak kita semua di sini menulis satu artikel setiap hari, belumlah berarti saya sudah mampu melakukan hal itu secara penuh. Akan tetapi, dengan menuliskan niat itu atau ajakan itu, saya jadi berusaha keras untuk memenuhinya.

Demikian juga jika kita menulis hal-hal baik atau anjuran-anjuran positif di sini berarti kita sudah berusaha atau sedang menguatkan diri untuk menginternalisasi apa yang kita tulis, tak melulu untuk kepentingan pembaca. 

Kita tentu akan merasa malu terhadap diri sendiri kalau hanya bisa menganjurkan sesuatu hal yang baik kepada orang lain, sementara kita tak mempraktikkan secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Baik sekali kalau kita sudah mempraktikkan sesuatu, baru kemudian membagikannya melalui tulisan.  Akan tetapi, tak ada yang salah kalau kita membagikan, sementara kita berjuang menanam nilai-nilai yang kita sebarluaskan itu untuk diri sendiri. Sambil menyelam minum air, begitu istilahnya. Proses internalisasi nilai memerlukan tekad dan waktu yang cukup untuk pembiasaan.

Tekad yang saya maksudkan adalah semacam janji kepada diri sendiri untuk menjadikan nilai-nilai baru itu sebagai bagian dari diri pribadi. Tekad ini penting, sebab dalam perjalanan, kita akan menghadapi banyak hambatan, misalnya dicemooh oleh orang lain, dikatakan bahwa hal ini tidak lazim, dan sejenisnya, yang dasarnya akan menggoyahkan niat kita untuk terus maju.

Waktu yang cukup juga dibutuhkan karena menginternalisasi nilai-nilai baru tidak semudah memasukkan kancing baju ke lubangnya. Di samping tekad yang kuat, juga diperlukan proses pengulangan yang intensif sehingga menjadi kebiasaan hidup. Jika sebuah nilai sudah menjadi kebiasaan, maka proses internalisasi sudah berhasil dan tinggal diaktifkan terus dalam praktik kehidupan berikutnya.

Dengan demikian, kita menulis sejatinya untuk memacu pengayaan diri.  Di samping itu, kita menulis juga untuk menginternalisasi nilai-nilai yang kita bagikan ke dalam perilaku kita sendiri. Bukankah begitu?

( I Ketut Suweca, 22 Maret 2020).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun