Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hadapi Perilaku "Semau Gue" Pengendara di Jalan Raya, Sanggupkah Kita Bersabar?

16 Maret 2020   19:47 Diperbarui: 21 Maret 2020   05:52 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika berkendaraan atau berjalan kaki di jalan raya, acapkali kita, mau tak mau, menemukan berbagai hal yang membuat kita mengelus dada. Misalnya, ada orang kebut-kebutan dengan sepeda motornya, ada orang bermobil menyerempet pengendara sepeda motor yang bukannya turun, malah tancap gas. 

Ada pula yang berkendaraan berjejer kiri-kanan sehingga nyaris mengganggu laju kendaraan di belakangnya. Lebih banyak lagi yang tak mengenakan helm tanpa rasa bersalah sama sekali. Nah, saya juga beberapa kali melihat hal-hal itu di berbagai tempat.

Kemarahan yang Meledak secara Spontan
Salah satu kejadian nyata yang kali ini saya paparkan adalah peristiwa berkendaraan di wilayah Denpasar. Ceritanya, saat itu kami berempat di dalam kendaraan menuju pusat Kota Denpasar untuk sebuah keperluan latihan bersama.

Saya yang saat itu menyetir mobil, memilih berkendaraan pelan-pelan karena lalu-lintas sedang ramai. Kecepatan kendaraan tak lebih dari 30 km.

Kemudian, tanpa dinyana sama sekali, dari belakang kanan, tiba-tiba muncul mobil yang berusaha menyalip, memaksa masuk di antara mobil yang saya kendarai dengan mobil di depan yang berlawanan arah. 

Seharusnya, karena ini tikungan, ia bersabar dulu, ikut pelan-pelan. Tetapi yang dia lakukan justru menyalip dan memepet mobil yang saya kendarai. Bagian ujung depan kanan depan mobil saya nyaris tersenggol.

Melihat itu, saya hanya menarik nafas. Dalam hati berkata: sabar-sabar. Tetapi, Pak Ade, sahabat saya yang duduk tepat di belakang saya, tiba-tiba menumpahkan caci-maki terhadap sopir kendaraan itu. 

Secara spontan kemarahannya meledak. Hanya, ia hanya marah-marah di dalam mobil, sementara mobil yang menyerempet itu sudah meluncur jauh di depan. Caci-makinya tentu saja tak perlu dimuat di sini.

Tenang-tenang Saja Melihat Itu
Usai marah-marah, ia lalu berkata,"Saya heran, Pak Ketut kok tenang-tenang saja. Sama sekali tidak marah?" ujarnya bertanya.

"Saya sudah sangat jengkel sekali melihat perilaku pengendara itu," tambahnya.

Saya hanya tersenyum sambil tetap memegang setir, mengendalikan mobil menapaki jalan yang sangat ramai saat itu.

Lalu, saya jawab sekenanya.

"Mungkin ia punya kepentingan yang sangat mendesak. Barangkali dia ada urusan yang genting. Misalnya, keluarganya sakit atau lainnya," kata saya.

"Kita mungkin juga akan seperti itu jika dihadapkan pada keadaan gawat atau darurat," tambah saya.

"Segenting apa pun, dia mestinya berhati-hati di jalan. Kalau kelakuannya seperti itu, bisa membahayakan dirinya sendiri dan orang lain," jawab Pak Ade. Saya kembali tersenyum.

"Yaa... begitulah keadaannya di jalan raya, Pak Ade. Kitanya yang mesti sabar," kata saya.

Teman saya ini akhirnya ikut tersenyum mendengar respons saya yang datar, dan saya yakin ia pasti tak puas dengan jawaban yang saya berikan.

Diperlukan Kesabaran Lebih
Bukan sekali dua kali hal-hal semacam itu kita temui di jalan dengan beragam bentuknya. Terkadang perilaku itu menjadi penyebab kecelakaan.

Perlukah kita mencaci mereka? Saya lebih memilih mengendalikan diri ketika melihat atau tersangkut peristiwa semacam itu di jalan.

Dalam beberapa kejadian, kesabaran memang tidak cukup di tingkat moderat, bahkan kita dituntut lebih sabar lagi. Lalu, mencoba berpikir positif tentang peristiwa yang sedang kita hadapi.

Sering kali kita tak bisa mengubah orang lain seperti yang kita harapkan. Kalaupun diberitahu, orang bisa balik menyalahkan kita, bahkan mungkin menantang berkelahi. 

Satu-satunya yang pasti bisa kita lakukan adalah dengan menyesuaikan respons kita terhadap peristiwa atau kejadian yang kita lihat atau alami. Mungkin kita harus sedikit mengalah.

(I Ketut Suweca, 16 Maret 2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun