Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/486107353508265573/
Kebiasaan menunda-nunda menangani suatu tugas atau pekerjaan sudah menjadi keluhan umum. Banyak orang sudah terbiasa melakukan hal ini.  Banyak pula orang yang merasa kecewa terhadap perilaku orang-orang seperti ini.  Pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini, baru diselesaikan  beberapa lama kemudian, bahkan mungkin tak diselesaikan pada akhirnya.
Banyak dalih yang disampaikan mengapa penundaan demi penundaan itu dilakukan. Karena sibuklah, karena sakitlah, mengurus keluargalah, karena ada tugas lainlah, dan masih seabreg lagi argumen yang menjadi alasan pembenar kebiasaan menunda itu.
Syukur-syukur kalau alasan itu benar adanya. Dalam banyak kasus, alasan tersebut hanya dalih yang mengada-ngada. Alasan tersebut disampaikan melulu untuk pembelaan diri ketika ada orang menanyakan mengapa suatu tugas tidak diselesaikan tepat waktu. Alasan  yang dibuat-buat bertentangan dengan kata hati si empunya, di samping membohongi orang lain.
Menemukan Penyebabnya
Jika ditilik lebih jauh, setidaknya ada 4 (empat) penyebab mengapa orang suka menunda-nunda mengerjakan suatu pekerjaan. Berikut penulis sampaikan keempat penyebab itu. Penyebab yang satu bisa berdiri sendiri, bisa pula berkaitan satu sama lainnya.
Pertama, tidak memiliki skala prioritas. Karena waktu terbatas adanya, mau tak mau, skala prioritas seyogianya diterapkan. Dengan demikian akan menjadi jelas, Â daftar kegiatan yang akan dilakukan, secara berurutan. Mana yang dikerjakan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
Orang yang tidak memiliki skala prioritas cenderung mengerjakan pekerjaan berdasarkan mood saja. Ia bekerja berdasarkan suasana hati sesaat. Mana yang menurutnya menarik atau menyenangkan, itulah yang dikerjakan. Demikian seterusnya, sehingga ada pekerjaan menjadi sama sekali tak tersentuh lantaran tidak menyenangkan dan tidak menarik untuk dikerjakan walaupun sejatinya harus ditangani.
Kedua, pekerjaan yang ditunda itu sulit. Kesulitan pekerjaan kadangkala menjadi penyebab mengapa orang menunda-nunda mengerjakannya. Kesulitan itu dibayangkan sebagai sesuatu yang memberatkan sekali, sesuatu yang menekan! Di awal, orang semacam ini sudah berpikir, betapa berat pekerjaan dimaksud. Padahal, kalau sudah dikerjakan belum tentu pekerjaan itu seberat dan sepelik yang dibayangkan. Suatu pekerjaan seringkali menjadi terasa berat jika tidak langsung dikerjakan. Semakin dipikirkan, semakin berat! Semakin ditunda, semakin membebani pikiran!
Dalam banyak kasus, suatu tugas ternyata menjadi jauh lebih mudah ketika dikerjakan daripada melulu dipikirkan. Hanya memikirkan pekerjaan secara berlarut-larut dipastikan akan menambah beban pasikologis.
Akan menjadi berbeda jika pekerjaan itu langsung diambil, ditangani. Kendati pun terdapat masalah di dalamnya, maka akan segera bisa dipilah satu demi satu sehingga lebih terurai dan jelas duduk persoalannya. Solusinya pun menjadi jauh lebih mudah. Sebaliknya, jika dibiarkan berlama-lama, maka masalah itu bisa memusingkan seperti gulungan angin puting beliung yang awalnya kecil kemudian menjadi dahsyat dan menghancurkan.
Ketiga, kesibukan yang terlalu padat. Kesibukan dalam keseharian sering manjadi biang keladi mengapa suatu tugas tertentu menjadi terbengkalai. Benar bahwa jika kita terlalu sibuk, maka mungkin saja satu atau lebih dari pekerjaan yang seharusnya dikerjakan menjadi tak tertangani secara berlarut-larut.
Akan tetapi, benarkah alasan kesibukan itu, alasan tumpukan pekerjaan yang over capasity? Jangan-jangan persoalannya ada pada bagaimana memanajemeni waktu dengan baik. Maka, ada baiknya diperiksa pemanfaatan waktu: adakah waktu yang dipakai sudah sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan?
Keempat, "penyakit" malas. Jika mau jujur, kebanyakan dari kebiasaan menunda-nunda itu disebabkan oleh faktor kemalasan. Malas mengambilnya. Malas mengerjakannya. Malas memulainya. Penyakit malas ini mendera banyak orang, padahal hal ini sangat menentukan masa depan seseorang. Ia benar-benar musuh dalam selimut.
Kebiasaan yang Menentukan Takdir
Kebiasaan bermalas-malasan itu terbentuk dari pengulangan. Artinya, satu, dua, tiga kali kemalasan itu dipraktekkan boleh jadi menyenangkan, bahkan sangat menyenangkan. Menyenangkan karena tidak bekerja, menyenangkan karena dapat bersantai, menyenangkan karena tak harus berpikir keras atau bekerja keras.
Kemudian, kemalasan yang pada awalnya dilakukan beberapa kali saja, selanjutnya berkembang menjadi kebiasaan. Intensitas pengulangan kemalasan semakin menjadi-jadi. Terjadi berulangkali, berkali-kali, bahkan dalam kurun waktu yang semakin lama. Kemalasan akhirnya berubah rupa menjadi kebiasaan.
Nah, kalau sudah pada tingkat kebiasaan, maka dapat dipastikan ia akan bersifat menahun, sulit sekali dirubah. Kalau sudah sulit dirubah, maka motivasi, dorongan perbaikan, ajakan positif dari orang lain untuk melepaskan kemalasan itu, tak bakal didengar, apalagi dipatuhi. Kebiasaan ini pun akhirnya mewujud menjadi takdir kehidupan.
Ringkasnya, ada empat penyebab mengapa orang suka menunda-nunda, yaitu karena tak memiliki prioritas, menghadapi pekerjaan yang sulit, kesibukan yang padat, dan terakhir, kemalasan.
Hendaknya setiap orang memiliki skala prioritas dalam menangani pekerjaan mengingat waktu yang terbatas. Selanjutnya, pengalokasian waktu dengan baik untuk menangani sederet tugas sehari-hari. Terakhir, mari lawan rasa malas itu setiap kali ia datang, dengan prinsip: kerjakan sekarang juga!
( I Ketut Suweca, 31 Januari 2020).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H