Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca Buku Sama Sekali Tidak Ada Gunanya, Benarkah?

30 Januari 2020   20:43 Diperbarui: 29 Maret 2020   04:17 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/805018502127259336/

Sejumlah orang meyakini bahwa sesungguhnya membaca itu tak ada gunanya! Membaca itu kegiatan percuma. Mengapa? Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini berpendapat, bahwa beberapa saat setelah seseorang membaca, apa yang dibaca akan menguap dari ingatan. Maka, kegiatan membaca menjadi percuma, toh isi pesan yang dibaca akan menghilang juga.

Pendapat yang demikian mungkin benar untuk sebagian orang. Penyebabnya, pertama, lantaran daya tangkap si pembaca memang lemah. Kemampuan literasinya rendah. Kedua, mungkin juga karena dia membaca bahan bacaan sekadar lewat saja.

Menemukan Kristalisasi Pemikiran Penulis

Kebanyakan orang sependapat bahwa membaca itu banyak manfaatnya. Dengan membaca, seseorang bisa menambah pengetahuan dan keterampilan di suatu bidang yang diminati. Melalui bacaan, seseorang bisa belajar langsung dari si penulis buku tanpa harus bertemu dengannya.

Jangan lupa, sebuah buku adalah hasil dari kristalisasi pemikiran penulis. Maka, si pembaca seharusnya merasa bersyukur karena hanya dengan membaca buku, ia sudah bisa menelusuri gagasan-gagasan brilian sang penulis buku, bahkan seakan-akan  bertemu dan berbicara  langsung dengan sang penulis.

Di samping menambah pengetahuan mengenai isi bacaan, pembaca bisa juga belajar tentang bagaimana si penulis merangkai kata sehingga menjadi jelas bagi pembaca. Penulis yang baik, tak hanya menguasai ilmu yang ditulis, bahkan juga menguasai bagaimana menuliskan ilmunya itu ke atas kertas dengan jelas dan menarik. Penulis yang hebat, di samping pengetahuan yang disampaikan memiliki bobot, gaya menuliskannya pun memikat dan enak dibaca. Hal inilah yang bisa dipelajari oleh pembaca yang suntuk.

Membaca secara Efektif

Berkenaan dengan kedua manfaat membaca itu, kita sampai pada keyakinan bahwa kegiatan membaca sejatinya sama sekali tidak ada ruginya asalkan dibarengi dengan teknik membaca yang efektif. Membaca efektif, maksud saya, bukan membaca sekadarnya, sepintas lalu. Membaca yang efektif adalah membaca dengan pencapaian tingkat penyerapan maksimal dari bacaan ke dalam pikiran si pembaca.

Bagaimanakah teknik membaca efektif sehingga diperoleh hasil maksimal?  Saya akan berangkat dari pengalaman membaca berbagai buku dari tahun ke tahun. 

Pengalaman mengajarkan bahwa kalau orang membaca sekilas atau sekadarnya saja sebuah buku, boleh dipastikan pengetahuan yang disadap dari buku tersebut hanya secuil dan akan sekadar singgah  untuk kemudian lenyap dari ingatan. Segala sesuatu yang dilakukan sekadar saja, hasilnya pun tak akan baik.

Ada orang yang bersemangat sekali menerapkan teknik membaca cepat dan dengan bangga mengatakan bahwa ia bisa menghabiskan sebuah buku yang berketebalan sedang (200-an halaman) hanya dalam satu-dua jam. Ia pun bangga betapa banyak buku yang sudah habis dibacanya.

Kepada orang seperti ini, kita mungkin boleh bertanya tentang materi buku-buku yang dibacanya secara super cepat itu? Masih ingatkah dia keesokan harinya tentang isi buku yang dibaca? Berapa persen isi buku itu bisa diingat? Jangan-jangan lupa sama sekali!

Saya yakin, jika menerapkan gaya membaca dengan pola "ngebut" seperti itu, si pembaca tak akan dapat manfaat maksimal dari kegiatan membaca. Pantas saja kalau kemudian kegiatan membaca itu dituduh sebagai membuang-buang waktu percuma.

Teknik Membaca Efektif

Saya memiliki kebiasaan membaca buku secara bersungguh-sungguh. Setiap kali membaca sebuah buku yang saya pandang bagus isinya, sebelum membaca saya sudah bersiap untuk membacanya secara bersungguh-sungguh. Melalui pembacaan yang serius, saya yakini akan dapat memetik manfaat terbesar dari kandungan buku itu.

Lalu, bagaimanakah caranya? Saya memiliki kebiasaan membaca dengan membawa pensil. Tangan saya terbiasa menggarisbawahi bagian-bagian yang saya pandang penting. Tak melulu membaca di dalam hati, untuk beberapa bagian isi buku yang memiliki kedalaman tertentu, saya baca dengan bersuara. 

Dengan menyuarakan beberapa bagian penting dari buku itu, secara otomatis saya telah menanam isi buku ke dalam pikiran terdalam saya. Dengan cara menggarisbawahi bagian-bagian tertentu, saya bermaksud membenamkan gagasan-gagasan buku itu ke dalam pikiran bawah sadar.

Saya akan berusaha sedemikian rupa agar materi penting di dalam buku tersebut terserap ke dalam ingatan sedalam-dalam dan sekuat-kuatnya. Itulah sebabnya terkadang saya menyuarakan isi buku itu sekaligus menggoreskan pensil atau stabilo di bagian yang saya anggap penting. 

Di samping itu, untuk beberapa bagian yang bagus, tak segan-segan saya membacanya lebih dari sekali. Satu-satunya maksud saya adalah agar gagasan tersebut melekat- menyatu ke dalam pikiran bawah sadar walau pun membutuhkan waktu.

Terkadang saya mencatat beberapa bagian buku di buku tulis. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk semata-mata menyalin bagian-bagian yang bagus dan menarik, melainkan lebih kepada tujuan untuk menanamnya jauh ke dalam benak.

Saya meyakini, pelibatan semakin banyak indera akan membawa pembaca mampu menyerap dan menyimpan  isi pesan dalam buku ke dalam ingatan secara maksimal dan dalam kurun waktu lama. Apalagi kemudian mengajarkan apa yang dibaca.  

Laksana kegiatan pengarsipan, jika sekumpulan arsip disimpan dengan rapi dan teratur, niscaya akan dengan mudah dan cepat menemukan kembali. Sebaliknya, jika ditumpuk sembarangan di gudang penuh arsip, maka akan sulit menemukannya. Kalau pun ditemukan, dibutuhkan waktu lama.

Pengetahuan yang kita pelajari, jika "diarsip" dengan rapi dan teratur dalam ruang pikiran melalui kebiasaan membaca secara efektif, maka akan mudah menemukannya kembali di kemudian hari. Bukankah sewaktu-waktu kita memerlukan "arsip" tersebut pada saat menulis, saat ujian, saat ditanya seseorang, misalnya?

( I Ketut Suweca, 30 Januari 2020).

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun