Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pinjamkan Uang atau Berikan Seikhlasnya Saja

5 Maret 2019   19:25 Diperbarui: 5 Maret 2019   19:46 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Seperti pernah ditulis oleh sahabat kompasianer belakangan ini, bahwa meminjamkan uang bisa menjadi runyam ketika tidak dikembalikan oleh si peminjam. Bahkan, dengan  berbagai dalih uang kita bisa melayang dan pertemanan sampai di garis finish. Maksud hati membantu, tapi apa daya, tak dibalas dengan selayaknya.

Saya menceritakan sedikit saja tentang pinjam-meminjam uang ini yang berangkat dari pengalaman sendiri. Pertama, pengalaman meminjamkan uang dan dikembalikan dengan senang hati dan tepat waktu. Kedua, pengalaman saya  'meminjamkan' yang kemudian menjadi mensedekahkan uang. Bagaimana ceritanya?

Dikembalikan atau Tidak Ya? 

Walau pun saya sangat jarang meminjamkan uang, apalagi keadaan saya relatif terbatas, seorang sahabat yang sangat saya kenal datang meminta bantuan. Ia mengalami kesulitan finansial, sementara kebutuhan menikahkan anaknya sudah dekat.  Saya memahami keadaannya, dan saya yakin ia tidak sedang berbohong. Ia adalah orang yang saya hormati. 

Mungkin karena kebutuhan sangat mendesak, ia memutuskan meminjam uang kepada saya, walau tidak terlalu banyak jumlahnya. Kebetulan juga saya ada sedikit simpanan,  maka tanpa berpikir dua kali, saya berikan yang bersangkutan pinjaman sesuai dengan permintaannya. Sesuai janji, tepat dua bulan kemudian, pinjaman itu dikembalikan.

Berbeda dengan kasus di atas, ada contoh lain lagi yang juga hendak 'meminjam' uang. Tidak banyak yang dipinjam, hanya Rp.300.000,- selama seminggu. Orang ini bukan teman akrab, tapi  sekadar kenal saja. Ia datang ke rumah dan mengatakan bahwa ia perlu uang untuk kebutuhan bayar sekolah anaknya. Begitu dalihnya. Ketika ia menuturkan hal itu, saya mengangguk-angguk saja.  

Saya pun memberikan pinjaman sebesar yang dia mau. Tapi, dalam hati, begitu saya berikan uang itu, saya sudah ikhlaskan walaupun tidak saya katakan kepadanya. Apa yang terjadi kemudian? Ternyata benar, uang itu tak kembali. Secara tak sengaja kami bertemu, dan tanpa saya tanya, ia bilang mau mengembalikan nanti. Tapi, sampai kini uang itu tak pernah dipulangkan kepada saya. Kejadian itu sudah lama berlalu.

Ada lagi contoh lain. Seseorang yang tak begitu saya kenal pribadinya, datang ke rumah untuk meminjam uang. Alasannya, ia mengalami kecelakaan jatuh sendiri di jalan raya tak jauh dari rumah saya. Ia bilang, sepeda motor yang dibawanya terpaksa harus masuk bengkel karena kerusakan pada beberapa bagiannya. Ia butuh Rp.250.000,. untuk membayar ongkos perbaikan sepeda motornya. 

Secara intuitif saya sudah menduga bahwa apa yang dikatakannya itu bohong belaka, tapi sebagai sahabat (walaupun tak begitu kenal) saya tak sampai hati tidak memberikan. 

Mungkin dia sebetulnya kesulitan uang untuk makan atau lainnya, begitu pikir saya. Dan felling saya benar. Janjinya untuk mengembalikan uang seminggu kemudian tak kunjung direalisasi, bahkan hingga setahun kemudian. Saya ikhlaskan saja semuanya. Terakhir, ada kabar dari teman, bahwa dia juga pernah dibohongi seperti itu.

Hukum Karmaphala  Selalu Berlaku

Seringkali di awal saya sudah bisa menebak uang saya akan dikembalikan atau tidak. Jika saya menduga si peminjam bisa dipercaya, saya masih berharap uang yang dipinjam kembali ke tangan saya--tanpa pernah saya mintakan tambahan bunga, misalnya. 

Sebaliknya, jika di awal saya sudah dapat menduga tak akan dikembalikan oleh si peminjam, ya saya ikhlaskan saja. Untuk yang terakhir ini tentu jumlahnya sangat terbatas.

Berangkat dari pengalaman tersebut, seyogianya kita menghindari meminjamkan uang dalam  jumlah banyak kepada orang yang diprediksi tak bakal mengembalikan, yang kejujurannya kita ragukan. 

Untuk kasus seperti ini, paling saya bilang tak ada uang dan/atau memberi ia sekadarnya saja. Jika uang yang dibutuhkan kecil saja jumlahnya, dan saya duga tak akan dikembalikan, ya, saya beri dan ikhlaskan sejak awal. Saya anggap itu sebagai cara untuk berderma atau bersedekah.

Saya sangat percaya pada hukum karmaphala : hukum sebab-akibat. Jika kita berbuat baik, akan baik hasilnya. Sebaliknya, jika berbuat buruk, hasil buruk akan kembali kepada kita. Nah, kalau si peminjam berbuat buruk, ya dia akan menerima akibat perbuatannya yang buruk itu, cepat atau lambat dan pasti!. Sederhana, bukan?

( I Ketut Suweca, 5 Maret 2019).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun