Nama lengkapnya dr. Putu Arya Nugraha, SpPD. Ia seorang spesialis penyakit dalam yang kini bertugas di RSUD Buleleng, Bali. Dokter Arya juga mengajar Universitas Udayana dan di Univeritas Pendidikan Ganesha Singaraja. Pria tampan ini punya hobi menulis sejak belia. Beberapa tulisannya pernah dimuat di Bali Post, Denpost, dan Jawa Pos. Penulis yang dikaguminya antara lain Pramudya Ananta Toer, Gunawan Muhammad, dan YB Mangunwijaya.
Sungai yang Mengambil Nyawa Dokter Ketut
Saat menjadi dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) sejak tahun 2001, dia ditugaskan di pedalaman Kalimantan Utara. Tepatnya di Kabupaten Malinau yang dihuni suku Dayak. Â Untuk tiba di lokasi tersebut, ia harus menyusuri Sungai Kayan lanjut menyusuri Sungai Bahau. Jeram sungai yang disebut terakhir pernah mengambil nyawa dokter Ketut yang ditugaskan di wilayah itu sebelumnya.
Dalam buku Merayakan Ingatan yang diterbitkan Mahima Institute (2019), dokter Arya menuturkan kisahnya. Langka sekali, memang, ada dokter yang piawai menulis seperti dokter kita yang satu ini. Made Adnyana Ole, sastrawan dan owner Mahima Institute tempat buku ini diterbitkan, juga kagum sekaligus kaget oleh kemampuan dokter Arya menuliskan kisahnya.
Saya sebagai salah seorang pembaca buku itu juga mengagumi cara dokter kita yang satu ini menuturkan pengalaman dalam bahasa tulis yang renyah sekaligus indah. Di sana-sini, kita akan menyimak kalimat-kalimat yang terpilih dan bernas, bahkan filosofis. Ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam menulis gagasan dan pengalaman benar-benar selektif dan mudah dipahami. Tak pelak, sebagai pembaca, saya sangat menikmati buku setebal 107 halaman  ini, apalagi ada satu-dua kisah sangat mengharukan.
Seperti sebuah kisah pada umumnya, ia bertutur dari awal kepergiannya ke Kalimantan Utara sebagai dokter PTT hingga pulang kembali ke Bali setelah dua tahun bertugas di situ.Â
Banyak catatan pengalaman yang membawanya pada kematangan dan kebijaksanaan hidup kelak. Tugas mulia di bidang kemanusiaan yang diemban dilakoninya dengan setia, ikhlas, dan penuh tanggung jawab. Penduduk setempat pun menerima dia layaknya keluarga saja. Sebagai Kepala Puskesmas setempat, dia wara-wiri mengunjungi pasien dari satu tempat ke tempat lain, kebanyakan memanfaatkan moda transportasi sungai, ketinting (sejenis perahu).
Terinspirasi dari Dokter Sutomo
Dalam perjalanan pertama menuju tempat dimana dia akan  bertugas, dokter Arya  dan pengantarnya sempat tidur di atas pasir di pinggir Sungai Kayan karena hari sudah malam. Karena matanya sulit terpejam, tidak seperti mereka yang mengantarkannya yang mudah lelap, dokter Arya pun terpaksa begadang.Â
Berkisah tentang ini, ia menulis : "Kian jauh menempuh malam, aku semakin yakin bahwa setiap kejadian bukanlah sebuah kebetulan. Selalu ada kata-kata sederhana yang menyimpan dinamit. Pikiran dan niat menentukan tutur bahasa, tutur bahasa menata sikap dan laksana kita, lalu sikap dan laksana memutuskan nasib kita. Maka, pada setiap sikap dan laksana sesungguhnya turut membawa serta nasib kita...... Jadi, usailah mengkhayal terlalu lama ke sana-ke mari, sebab kurang tidur pasti membuat tubuh ini tak prima untuk melanjutkan perjalanan ketika matahari muncul di sela-sela pepohonan, besok pagi."
Semangat pengabdiannya terinspirasi dari dokter Sutomo, pejuang negeri ini. Dikatakan, :"Dokter Sutomo dengan kesadaran yang begitu tajam memilih melayani bangsanya yang dekil saat itu daripada bersekutu dengan penjajah yang perlente. Tak hanya sampai di situ, Dokter Sutomo buhkan mengambil peran jauh dari originalitas sebagai dokter dan menjadi lokomotif penggerak gerbong perjuangan kaum intelektual mewujudkan kemerdekaan bangsa."
 "Maka, sebuah dosa besar bila dokter kemudian justru, walau tak menyadari, telah memiskinkan pasien-pasiennya, dan akan membuat lebih miskin lagi jiwanya sendiri. Dokter secara konseptual adalah bagian dari solusi untuk masalah-masalah bangsa. Maka, logikanya lebih sederhana daripada memasang tali sepatu, kenapa dokter-dokter harus dengan riang siap bekerja melayani anak-anak bangsa di pelosok-pelosok pedalaman wilayah terpencil. Sebab, di sanalah dokter dimuliakan," papar pendiri Yayasan Sesama Singaraja ini.
Dokter Arya mendorong para dokter untuk melayani secara ikhlas. Tulisnya :"Sikap semangat melayani mesti tetap dijaga. Lakukan dengan sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya ----- Â Mungkin juga sesungguhnya bukan untuk kesembuhan orang-orang lemah itu, karena setiap orang telah membawa takdirnya sendiri. Semua yang kita lakukan sesungguhnya untuk kebaikan-kebaikan kita sendiri, untuk memuliakan diri kita sendiri, karena Tuhan bersemayam di antara mereka yang lemah."
Di Kalimantan Utara, dokter Arya berkesempatan mengabdikan diri kepada masyarakat yang sangat mendambakan kehadirannya sebagai dokter. Bahkan bertugas sebagai guru Matematika dan Bahasa Inggris pun dilakoninya di SMP Â 1 Kecamatan Pujungan karena kelangkaan guru. Sebaliknya, dia pun merasa banyak belajar kesabaran dan kecintaan pada alam dari masyarakat setempat.Â
Tentang hubungan alam dan manusia, ia bertutur : "Sebelum agama formal hadir, hubungan harmonis manusia dengan alam dan dengan sesama manusia sesungguhnya sudah diterapkan. Gus Dur menyebutnya dengan kalimat bagus, bahwa menyayangi ciptaan-Nya adalah bakti kepada pencipta-Nya. Namun sebaliknya, meski kita tampil agamis agar punya citra harmonis dan dekat dengan Tuhan, namun jika faktanya kita tak peduli alam atau menyakiti sesama manusia, maka tampilan agamis itu palsu. Pasti."Â
 Terima kasih dr. Putu Arya Nugraha, SpPD untuk buku yang luar biasa  ini. Teruslah mengabdi untuk anak negeri. Dan, jangan lupa, teruslah menulis.
( I Ketut Suweca, 4 Maret 2019).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI