Pembaca kenal dengan nama M. Iqbal Dawami? Mungkin ya, mungkin pula tidak. Ia adalah penulis beberapa buku, diantaranya Cadison Si Genius, Remaja dan Waktu Luang; Cita-cita : The Secret and The Power; dan Sang Pengubah Mitos. Satu lagi bukunya yang akan kita bahas di sini berjudul The Miracle of Writing, sebuah buku berketebalan 169 halaman, diterbitkan Leutika, pada tahun 2010.
The Miracle of Writing
Apa yang menarik dari buku ini? Berbeda dengan buku tentang tulis-menulis lainnya, bacaan ber-cover merah marun ini banyak mengulas tentang manfaat menulis, terutama dari sisi kesehatan psikologis. Tema-tema yang diambil di antaranya keampuhan terapi menulis, menulis dan peradaban, dan melejitkan diri lewat menulis.Â
Di samping itu, pada bagian yang sangat menarik, M. Iqbal Dawami mengangkat kisah orang-orang yang mendapatkan pencerahan dan mampu bertahan dalam kesulitan dan tekanan hidup dengan menulis. Beberapa nama penulis terkenal dijadikan sebagai contoh.
Begini kata Dawami, sang penulis buku: "Menulis pada hakekatnya merupakan aktivitas yang menggerakkan energi  imajinatif nan mencerahkan.Â
Aktivitas menulis tak hanya membuat fisik menjadi sehat dan mengukuhkan kekuatan jasmaniah, bahkan juga mencemerlangkan kehidupan.Â
Menulis juga menjadi kekuatan untuk bertahan dari gempuran penyakit yang telah berakar di dalam tubuh. Maka, dapat kita lacak dalam lanskap aras dunia kepenulisan termaktub nama-nama penulis yang berkarib dengan penyakit, namun tetap bugar."
Di samping itu, Dawami juga menjelaskan betapa menulis bisa membebaskan orang dari tekanan batin, bisa mengatasi trauma, dan bisa mengatasi kebiasaan buruk. Bahkan, yang divonis kanker pun dianjurkan untuk menulis! Â Untuk menunjang argumen the miracle of writing ini, penulis buku memadukannya dengan hasil penelitian yang menguatkan.
Bung Karno dan Bung Hatta
Mari kita lihat beberapa contoh penulis yang berhasil mengatasi segala kesulitan dan tekanan dengan suntuk menulis. Yang paling dekat dengan histori kita adalah the founding fathers Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta. Beliau berdua adalah pemimpin yang juga penulis hebat yang dimiliki negeri ini. Bung Karno, misalnya, sangat aktif menulis ketika ditahan di dalam penjara.Â
Tatkala berada di dalam penjara Sukamiskin, Bung Karno menulis pembelaan yang kemudian dibukukan dalam Indonesia Menggugat. Demikian pula Bung Hatta, ketika ditahan di penjara Glodok tahun 1934, menulis beberapa karangan.Â
"Dalam penjara Glodok, Hatta menamatkan penulisan buku Krisis Ekonomi dan Kapitalisme. Bahkan karena keranjingannya membaca dan menulis, Bung Hatta membawa serta buku-bukunya saat dipenjara di Boven Digul, Papua, tahun 1934," terang Dawami.Â
Dikatakan, Deliar Noer, penulis buku biografi Muhammad Hatta, Biografi Politik, mengutip ucapan Bung Hatta sebagai berikut : "Buku adalah temanku. Buku-buku menjadi temanku dan pastilah (penjara) ini merupakan tempat tenang untuk belajar. Selama aku memiliki buku, aku dapat tinggal di mana saja."Â
Karl May dan Pipiet Senja
Penulis buku ini juga mengambil beberapa contoh lainnya. Karl May, misalnya, sang penulis cerita petualangan. Ia lahir dari keluarga yang sangat miskin, sering didera kesengsaraan yang hebat, kemelaratan, bahkan sering kali kelaparan.Â
Karl May sejak lahir mengalami kebutaan akibat kekurangan vitamin A dan D, namun pada usia lima tahun ia mendapat kesempatan untuk mengikuti operasi mata sehingga membuatnya bisa melihat.Â
Dalam perjalanan hidupnya, karena tuduhan-tuduhan yang ditimpakan padanya, ia sempat dua kali masuk penjara. Selama di penjara itulah Karl May banyak membaca, terutama membaca buku geografi yang mengilhaminya untuk menulis cerita petualangan. Buku  yang lahir dari tangannya, antara lain Winnetou dan Kara ben Nemsi, keduanya novel petualangan yang terkenal.
Contoh lainnya yang disajikan Dawami adalah kisah hidup penulis Pipiet Senja. Ia adalah pembaca yang rajin, banyak bacaan digumulinya sehingga menjadikan wawasannya sangat luas.Â
Buku-buku terbitan dalam dan luar negeri, seperti karya Kuntowidjojo, Ajib Rosidi, Kho Ping Ho, Charles Dicken, Emille Zola, Barbara Cartland, Sidney Sheldon, dan masih banyak lagi. Â Tetapi, tahukah Anda bahwa Pipiet Senja berjuang melawan penyakit thalasemia? Karena penyakitnya itu, sejak sejak kelas enam SD, Pipiet sudah mulai ditransfusi darah setiap dua-tiga bulan sekali.Â
Penyakit itu, tulis Dawami dalam bukunya ini, tidak ada obatnya, kecuali transfusi darah secara berkelanjutan. Di sela-sela penderitaannya itu, ia terus menulis dan menulis. Tak kurang dari 55 judul buku terlahir dari tangannya.
Masih ada beberapa penulis yang didera penderitaan, namun tetap konsisten menulis dicontohkan di dalam buku ini, seperti Gao Xingjian, Â Karen Amstrong, dan Virginia Woolf. Â
Okey, tugas saya memperkenalkan buku ini sudah usai. Cukup dulu ya sahabat. Khawatir kepanjangan dan membosankan. Silakan Anda mendapatkan buku ini dan menikmatinya.
(I Ketut Suweca, 25 Februari 2019).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI