Ada sebuah artikel yang sangat menggugah pada harian Kompas, Selasa, 19 Februari 2013. Pada kolom Olahraga, terdapat kisah tentang Dereck Redmond, sprinter Inggris, yang diangkat ke dalam video berjudul Merayakan Kemanusiaan. Panggungnya adalah Stadion Olimpiade Barcelona. Kisahnya tentang Olimpiade 1992, dengan fragmen: semifinal lari 400 meter putra.
Dikisahkan, Dereck Redmond, pelari kelahiran 3 September 1965, hadir sebagai favorit juara. Dia pemegang rekor Inggris Raya, juara dunia 4 x 400 meter. Ia paling cepat di putaran pertama, sehingga sangat meyakinkan di seperempat final. Lalu,semifinal pun berlangsung. Pistol startberbunyi, dan Dereck pun melesat. Jarak 150 meter tertempuh, masih kurang 250 meter lagi. Di titik itulah tubuh Dereck tersentak, tangannya memegang kaki kanan, lalu dia tersungkur. Otot hamstringnya robek di tengah lomba. Para pesaingnya terus melaju, tanpa ampun.
Dereck tertinggal sendirian. Dia telentang dan menangis. Sakit. Kecewa. Sejumlah petugas medis menyerbuke dalam lintasan, hendak memapah Dereck ke luar lintasan. Tapi, Dereck menolak. Terpincang-pincang, meringis kesakitan, dia coba meneruskan sisa rute, bertumpu pada kaki kirinya yang masih kuat. Para penonton terhenyak kaget. Hening, tiba-tiba. Pintu kemenangan sudah tertutup rapat baginya. Namun, Dereck terus menyelesaikan rute meskin lawan sudah lama menuntaskan.
Sekitar 120 meter menjelang finis, seorang lelaki tua gempal menerobos masuk ke lapangan. Para petugas tak kuasa mencegahnya. Si lelaki itu, Jim Redmond, sang ayah, merangkul Dereck.
“Kamu tidak harus menuntaskan lomba,” kata Jim.
“Ya, saya harus,” ujar Dereck.
“Baiklah, kalau begitu, mari kita selesaikan bersama,” ucap sang ayah.
Di bawah lebih dari 130. 000 mata, ayah dan anak berjalan bersama, berangkulan. Beberapa meter sebelum finis, Jim membiarkan Dereck berjalan sendiri menuju garis finis. Panitia mendiskualifikasi Dereck, tentu saja. Namun, semua penonton berdiri, memberi Dereck aplaus, air mata dan hati mereka.
Banyak psikolog olahraga mengatakan, hasrat untuk memulai, bertahan, dan menuntaskan aktivitas karena cinta, harga diri (inner pride), dan komitmen untuk “can do” adalah jauh lebih baik dibandingkan motivasi meraih penghargaan kebendaan (trofi, uang) atau penghargaan abstrak (pujian). Motivasi itulah yang keluar dari Dereck, dipicu derita dan kekalahan.
Saya sangat terharu membaca kisah itu. Sungguh menginspirasi! Itulah mengapa saya kutipkan untuk para kompasianer yang belum sempat membacanya.
( I Ketut Suweca, 23 Februari 2013).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H