Kalau beberapa hari sebelumnya Kompas cetak tampil cukup tipis - mungkin karena Lebaran -- tapi belakangan kembali seperti biasa, banyak halaman. Isinya pun saya sukai. Dua tulisan di Kompas terbitan Senin, 27 Agustus 2012, yang sangat menarik perhatian saya adalah tulisan di halaman 1 dan halaman 6. Tentang apa?
Pada halaman 1 bagian bawah, koran nasional ini menyajikan artikel tentang wafatnya Neil Armstrong, di bawah judul "In Memoriam: Neil Armstrong, Bulan, dan Mars" Sedangkan, pada halaman 6, koran favorit banyak orang ini menampikan artikel karya Boediono, Wakil Presiden RI. Yang menarik, Pak Boediono masih sempat menulis di koran kendati kesibukannya sebagai wakil presiden tentu sangat padat. Judul tulisannya: Pendidikan Kunci Pembangunan. Saya akan 'menyentuh' kedua tulisan itu. Mari.
Neil Armstrong
Armstrong lahir di ladang pertanian kakeknya dekat Wapakoneta, Ohio, 5 Agustus 1930 dari keluarga bahagia dan konvensional. Ayahnya, Stephen Armstrong, adalah pegawai negeri yang bekerja di Ohio dan kemudian menjadi Asisten Direktur di Departemen Kesehatan dan perbaikan Jiwa Ohio. Ibunya, Viola, bersama keluarganya adalah pemilik ladang pertanian.
Seperti diberitakan, Amstrong sudah tertarik pada dunia penerbangan sejak usia dini dan ia mendapatkan lisensi terbang saat berusia 16 tahun. Dia belajar teknik aeronautika dan mendapatkan gelarnya di Universitas Purdue dan Universitas Carlifornia Selatan. Ia pernah berdinas di Angkatan Laut AS dan ambil bagian dalam Perang Korea. Riwayat hidup Armstrong tak bisa dilepaskan dari proyek Apollo yang dicanangkan Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961.
Pada saat menjejakkan kakinya di bulan, pada 20 Juli 1969, dia ditonton oleh lebih dari 600 juta orang melalui tayangan langsung televisi hitam putih. Saat itu ia dengan Apolo 11 yang terbang sejauh 400.000 km menjalankan missi mengambil contoh batu dan tanah di bulan serta melakukan eksperiman yang datanya dikirim kembali ke bumi. Presiden Barack Obama mengatakan, bahwa Amstrong telah memberikan satu momen prestasi umat manusia yang tak akan dilupakan.
Amstrong dikenal lewat ungkapannya ketika telah menginjakkan kaki di bulan. "Itu adalah satu langkah kecil bagi (seorang) manusia, tapi lompatan raksasa bagi kemanusiaan." Dan, dengan rendah hati, dia mengatakan,"Saya sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan puncak karya 300.000 sampai 400.000 orang selama satu dasawarsa." Armstrong tutup usia pada Sabtu, 25 Agustus 2012, di Cicinnati, Ohio, dalam usia 82 tahun.
Boediono tentang Pendidikan
Setelah berkisah sedikit tentang Neil Armstrong, mari kita melihat sejenak pemikiran Pak Boediono yang dituangkan dalam artikelnya yang menghabiskan sekitar ¾ halaman dari hal. 6 kolom Opini Kompas. Banyak sekali hal menarik yang patut dicatat dari pemikiran Boediono. Dia menguraikan kerisauan hatinya terhadap dunia pendidikan di Indonesia, terutama yang menyangkut tentang "apa" yang seyogianya diajarkan untuk menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berkontribusi maksimal bagi kemajuan bangsanya. "Saya harus menyatakan bahwa sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan ini. Karena tak ada konsepsi yang jelas, timbullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik. Bahan yang diajarkan terasa "berat", tetapi tak jelas apakah anak mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya," tulis Boediono.
Pertanyaan yang substantif ini tentu harus dijawab oleh dunia pendidikan kita melalui institusi yang telah terbangun. Dengan merujuk pada sebuah hasil penelitian, Boediono melihat, ada dua institusi yang mengantarkan suatu bangsa pada kemajuan, yakni institusi politik dan ekonomi. Dari dua institusi ini, maka institusi politik adalah yang paling mendasar. Mengapa? Karena, kelompok institusi inilah yang pada akhirnya menentukan aturan main yang mengkondisikan efektif tidaknya institusi-institusi lain. "Pembenahan dan penataan institusi politik merupakan kunci pembukan kemajuan bangsa," jelasnya.
Dinjelaskan, kualitas kinerja institusi pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia-manusia yang melaksanakan fungsi institusi itu, terutama dalam sikap dan kompetensinya. "Di sinilah kita melihat jelas peran sentral pendidikan dalam pembangunan dan kemajuan bangsa," urainya. Menurutnya, adalah penting sekali memperhatikan dua sasaran pendidikan, yakni, pertama, membentuk sikap dan kompetensi dasar yang merupakan tugas dari pendidikan umum. Kedua, mendidik dan sikap dan kompetensi khusus yang diperlukan bagi mereka yang bekerja di bidang tertentu; ini adalah bidang tugas pendidikan khusus. "Pendidikan umum memberikan soft skill kepada anak didik, sedangkan pendidikan khusus memberikan hard skill untuk menjadi pekerja yang baik," tulisnya.
Mengacu pada pandangan Prof. Derek Bok dari Harvard University, Boediono mencontohkan tentang pendidikan S1 di AS yang membekali delapan kemampuan kepada mahasiswa, yakni kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, dan kemampuan untuk menjadi warga negara yang efektif. Di samping itu, juga kemampuan untuk mencoba mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas mengenai hidup, dan memiliki kesiapan untuk bekerja.
Memetik Makna
Lalu, apa yang dapat dipetik dari Neil Amstrong dan pemikiran Boediono? Dalam pemahaman saya, pendidikan yang baik akan membawa manusia Indonesia sanggup mengantarkan bangsa ini ke arah kemajuan, bahkan menjadi pionir, kreator, dan inovator bagi kemajuan bangsa. Neil Armstrong sudah mewujudkannya, dan ini layak menjadi teladan bagi generasi muda bangsa Indonesia. Semangat untuk mengabdi demi kepentingan bangsa, semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, hendaklah harus terus dihidupkan. Sementara itu, jangan merusak mental generasi muda dengan budaya koruptif sejak di bangku sekolah atau kuliah! Hal ini sungguh berbahaya bagi masa depan bangsa.
Oleh karena itu, untuk merespons pemikiran Boediono, sudah seyogianya siapa pun yang bertanggung jawab di dunia pendidikan mengambil langkah-langkah untuk menemu-kenali kekurangan yang ada dan dengan segera melakukan pembenahan demi pembenahan. Proses pendidikan yang berkualitas akan melahirkan generasi yang berkualitas. Bukan hanya kuantitas yang penting, tapi kualitas jauh lebih penting.
( I Ketut Suweca , 30 Agustus 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H