Mohon tunggu...
I Ketut Suweca
I Ketut Suweca Mohon Tunggu... Dosen - Dosen - Pencinta Dunia Literasi

Kecintaannya pada dunia literasi membawanya suntuk berkiprah di bidang penulisan artikel dan buku. Baginya, hidup yang berguna adalah hidup dengan berbagi kebaikan, antara lain, melalui karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Berkirim Surat, Akankah Bertahan?

28 Agustus 2011   07:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat ketika remaja dulu. Karena punya teman spesial di kota lain, saya sering berkirim surat. Bukan surat yang terketik rapi dengan menggunakan mesin ketik atau komputer, melainkan surat dengan tulisan tangan. Senang sekali rasanya menulis, meng-amplopi, dan membawa surat itu langsung ke kantor yang tak jauh dari rumah. Dengan prangko secukupnya, surat tersebut sudah tiba di tujuan dalam 2 sampai 3 hari. Menerima surat balasan dari si doi pun senangnya tak ketulungan, kala itu.

Bersamaan dengan berjalannya waktu, kebiasaan saya itu berlanjut dengan berkirim surat ke koran-koran. Tapi, kali ini tak lagi surat yang ditulis tangan, melainkan naskah yang terketik rapi, ditujukan kepada pemimpin redaksi sebuah koran/majalah. Di samping berkirim naskah, menerima weselpos sebagai honor menulis juga membuat hati senang. “Pos pos pos, ini ada wesel Pak,” ujar petugas pos. Saya pun tersenyum sumringah menyambut kedatangan Pak Pos.

Itu dulu. Kini, kebiasaan masyarakat menulis surat dengan tulisan tangan sudah jauh berkurang. Sekarang, orang berkirim pesan dengan menggunakan fasilitas internet dan handphone. Semakin banyak orang sekarang berkirim pesan melalui e-mail, bahkan hanya melalui sms jika pesan yang disampaikan isinya singkat.

Jika diperhatikan di beberapa kantor pos belakangan ini, saya menduga jumlah orang berkirim surat tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Prangko sudah tak banyak lagi diperlukan. Itulah sebabnya, kantor pos mengantisipasi perubahan kebiasaan masyarakat ini dengan tidak lagi mengandalkan layanan pengiriman surat, melainkan memperluas layanannya ke bidang lain, seperti layanan tabungan, pembayaran pensiunan, dan lain-lain.

Saya tak tahu, apakah budaya berkirim surat khususnya untuk surat-surat pribadi masih akan bertahan seperti dulu. Saya merasa pesimis dengan hal itu. Trend menunjukkan, masyarakat kita kini lebih memilih cara yang dipandang lebih praktis, cepat, dan efisien, seperti menggunakan e-mail, facsimile, dan sms dalam berkomunikasi atau saling berkirim pesan.

Melihat kecenderungan seperti itu, tiba-tiba saya ingin kembali menulis surat dengan tulisan tangan. Juga, datang membawa surat itu ke kantor pos, membelikan amplop, prangko, dan setelah lengkap, menyerahkankan surat itu ke petugas kantor pos yang melayani dengan senyum. Tapi, sekarang saya kirim surat untuk siapa? Oh ya, bagaimana kalau saya bersurat dengan tulisan tangan kepada Pak SBY? Kira-kira beliau sempat membacanya nggak ya? Dibalas nggak ya? Dulu, duluuu sekali, saya pernah berkirim surat ke Pak Harto untuk menyampaikan selamat ulang tahun, eh ternyata dibalas dengan kartu ucapan terima kasih. He he he, senang juga lho.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun