Mohon tunggu...
Ada Saya
Ada Saya Mohon Tunggu... -

I'am a student of Law Faculty, like writing, cooking, and everything can make all happy

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Robot Bernyawa

11 Juli 2011   15:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebotol minuman bersoda menemaniku bersantai di sudut taman kota. Sayup-sayup kicau burung membawaku dalam nuansa damai dibawah senja yang menjingga. Aku merasa nyaman karena dari sini dapat kulihat sebuah kebebasan. Kebebsan yang membuat mereka tersenyum damai. Kulihat sekelilingku. Seakan mereka lupa akan hiruk pikuk kehidupan yang menjemuhkan. Hingga aku bertanya, apakah hanya aku seorang yang berfikir demikian. Berfikir tentang tekanan-tekanan yang menghantui kehidupan.

Di lain sudut lagi, kulihat senyum merona balita berambut kriting yang asik dengan sepeda roda tiganya. Aku iri padanya. Entahlah, suatu hal yang mustahil jika aku bisa kembali sepertinya. Lantas kenapa aku iri? Bukankah aku sudah merasakannya??? Tertawa lepas dan melakukan apapun yang aku suka. Tanpa berfikir dan tanpa menanggung akibat dari polah tingkahku. Bukankah masa itu telah kuahiri?? Dan kini aku berubah menjadi gadis remaja yang tak tau jalan ke lembah nirwana. Dadaku pun semakin sesak memikirkan hal itu. Kejemuhan-kejemuhan menjadi anak sekolahn tak pernah disadari oleh orang-orang sekitar. Tak ada orang yang tutup mulut dan berhenti menuntut. Semua berusaha mengendalikan. Seakan merekalah yang berhak menyetirku atas langkahku. Tanpa mengingat aku punya kehendak.

Begitulah bedaku dengan balita berambut kriting itu. Dunianya tak dilingkupi dengan haru. semua orang apa lagi orangtuanya, sangat tunduk untuk melayani apa yang dia minta. Sekali lagi aku tegaskan pada diriku. Untuk apa aku iri dengan hal semacam itu. Angka usiaku bukan lagi menunjukkan pada jumlah satuan. Tapi telah belasan. Membentuk bilangan nominal yang membuatku merinding mengatakannya. Itu semua karena makna angka itu menandakan waktunya aku berdiri sendiri.

Kesaksian akan diriku sendiri menjadi bungkam tak seperti masa kecilku dulu. Jika aku mnginginkan ini itu semua harus sesuai prosedur yang melibatkan perjuangan untuku mendapatkannya. Tak bisa aku menyuruh yang lain untuk melakukan apa yang aku mau. Tapi kenapa orang-orang di sekitarku membawaku dalam kehendaknya yang gelap bagiku. Aku tak paham dengan pola pikir mereka. Apa mereka menganggap aku ini robot yang bernyawa???

*****

"Apa yang kamu kerjakan di taman itu?????" tanya ibuku ketika makan malam hendak dimulai.

"Lihat anak kecil main sepedah." jawabku singkat.

"Kurang kerjaan saja kamu itu. Udah tau lo jam segitu bentar lagi mahgrib masi aja kluar rumah." ibuku sinis.

"Aku hanya menghilangkan stres ibu.... makannya aku pergi ke taman." jelasku dengan nada berlahan.

"Apa dengan begitu, stresmu akan hilang???"

Aku diam atas pertanyaan ibu yang membuatku semakin galau. Cuma masalah kluar rumah menjelang mahgrib saja memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang memerahkan telinga. Dengan pita swara mengencang tak gugetarkan, kubuka mulutku dengan sikap dan memasukan sendok demi sendok makanan ke mulut agar aku cepat kenyang dan melupakan semua kepenatan.

Seusai makan, aku segera masuk dalam kamar. Mengandangkan diri dan berupaya melakukan segala hal yang aku suka. Hari ini aku ingin menulis. Tapi keinginan itu membeku seraya kulihat white board yang sengaja kupasang di dinding kamarku. Disitu tertulis tugas-tugasku. Banyak sekali tugas-tugas yang diberikan hari kemarin dan harus dikumpulkan hari ini. Apa lagi ini tugas matematika. Pelajaran yang membuatku ling lung di dalam kelas. Dan yang pasti sanksi menantiku jika ku tidak mengerjakan dengan tepat waktu.

Tapi aku butuh mengeksplorasi diri. Mengukir kreativitas di depan layar dan menggerakkan jemari di atas keyboard laptop yang bersantai di atas meja belajarku. Ingin sekali ku meraihnya. Mengetik beberapa kata yang padu dan menyulapnya menjadi sebuah cerita. Jarang rasanya kupunya waktu untuk melakukan bagian yang terindah dalam hidupku. Melangkah menjadi apa yang aku inginkan. Keinginanku menulis mungkin hanya tercapai ketika ada tugas membuat cerita dari guru Bahasa Indonesia. Semua karena rutinitas. Pulang sekolah sore, bantu ibu, mengerjakan PR, belajar, dan slalu begitu yang aku lakukan. Meskipun hari minggu ku lewati, namun PR yang diberikan bapak ibu guru terlalu melimpah di hari itu. Apa lagi orang tuaku tak pernah mendukungku untuk menulis. Mereka memaksa menjadi apa yang mereka inginkan. Bukan tanpa alasan. Masa depanku slalu menjadi alibi untuk menuntutku macam-macam.

Namun yang terpenting akulah yang tau siapa aku. Mereka tak pernah tau bahwa aku bukanlah robot bermesin yang hanya bisa menuruti kehendak mereka. Inilah diriku dan inilah aku. Aku punya jiwa. Aku punya nyawa. Dengan segumpal otakku dan kehendakku untuk melakukan sesuatu yang aku mau. Terkadang aku memimpikan sebuah kebabasan yang tek lekang sepanjang zaman. Memimpikan aku hidup di hutan luas bersama kertas-kertas yang membantuku merantai kata. Aku ingin menjamu dunia dengan berbagai karya. Namun, mereka tak percaya dan slalu mengembar-gemborkan opini mereka yang mereka anggap itu benar. Memang benar. Tapi meragukan dari segi jiwaku.

Hingga malam itu kuputuskan, untuk tidak mengerjakan PR dan meraih laptopku untuk membiarkan jemariku menari mengikuti irama hati yang mendayu-dayu karena lara hati yang tak kunjung bebas dari sangkar peti. Tidak. Tidak selamanya aku menjadi merpati yang malan, kesepian, dan terkungkung dalam sarang. Hari ini aku akan menjadi orang yang sebebas-bebasnya.Karena aku bukanlah robot buatan manusia. Aku robot ciptaan Tuhan. Yang melakukan hal sebebas-bebasnya untuk kepentingan Tuhan.

*****

"Mana PRmu????" tanya pak Hasim yang berdiri di depan bangkuku. Wajahnya sudah terlihat garang. Begitu yakin PRku pasti tak karu-karuan. Karena beliau tahu aku paling tak bisa matematika.

"Ini pak...." jawabku sambil menyerahkan PRku yang kukerjakan dengan sepenuh hati semlam suntuk.

Dibacanya berlahan kertas-kertas yang kusebut hasil PRku. Terlihat mata Pak Hasim ingin melototi mataku. Dan menyiapkan tangannya untuk menggebrak bangku atau memukul wajahku dengan keras. Aku hanya tersenyum ketika matanya menatapku. Beberapa menit kemudian setelah menatap kertas yang kuberikan, dia meneteskan air mata. Terharu membaca keluhan robot yang bernyawa.Menjalani hiruk pikuk dengan keiklasan yang terpaksa.

"Aku hargai karyamu, nak... memang kau ntak pernah bisa berhitung. Tapi kau bisa menulis dengan baik." Pak Hasim menatapku sambil menorehkan senyumnya yang menawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun