Media mulai menyorot perkembangan mengenai perencanaan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Menurut update pada 6 Oktober 2021 lalu, pemerintah sudah mengumumkan bahwa mereka memiliki planning akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dengan besaran 11% pada tahun 2022 mendatang.
Adanya kenaikkan PPN ini, memicu dampak pada ekonomi makro. Direnakan kenaikan tarif PPN umum yang sebesar 11% tersebut membuat ekonomi makro bereaksi terhadap pertumbuhan ekonomi, upah riil yaitu daya beli yang diterima para buruh atau para pekerja. Serta konsumsi masyarakat sebanyak 0,02%
Namun, ada hal yang lebih penting lagi dimana hal ini juga dapat menyenggol satu hal yaitu dapat terjadi penurunan konsumsi masyarakat sekitar 2%.
Mengapa bisa demikian?
bisa dikatakan peningkatan tarif PPN yang berlaku tersebut, dapat membuat biaya produksi meningkat sehingga harga jual akan menjadi lebih mahal. Hal ini menjadikan minat masyarakat pada suatu barang akan menurun
Namun, perlu diketahui. Tauhid Ahmad yaitu Direktur Eksekutif INDEF mengemukakan, bahwa ia memiliki rekam catatan, bahwa PPN dapat menyumbang rata-rata sekitar 35% dalam penerimaan pajak tahunan.
Menurut Tauhid, sapaannya. PPN memiliki kinerja bukan hanya pengaruh dari tarif itu sendiri, melainkan juga dari bagaimana pertahanan basis penerimaan PPN yang dimaksud tersebut.
Tauhid menyuarakan peluang pengusaha dengan omzet besar dapat memanipulasi laporan keuangan, serta dapat membuat juga melakukan ancang-ancang untuk memecah unit bisnis. Hal ini bisa saja dilakukan jika ingin menghindari batasan terkena PPN senilai 4.8 M. Hal ini jelas akan merugikan pemerintah nantinya dan sudah pasti tidak sesuai harapan dengan dinaikkannya PPN ini.
Jelas rencana naiknya PPN akan menuai banyak pro dan kontra.
AMALIA FITRIYANI (Mahasiswi prodi sarjana manajemen S-1) Universitas Pamulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H