Saat siang yang terik di hutan kepala
Dibalik bilur waktu beberapa puisi karam
Menjadi kolam genangan airmata
Suara yang terbungkam, nyali yang patah
Beberapa sibuk beterbangan
Entah hinggap di hati siapa
Dan entah kapan ia bakal hinggap
Paking tidak ia terbang menggema sekejap
Meski akhirnya pun karam mengabu
Ia mungkin cuma separuh bait yang sampai
Atau bisa saja cuma selarik kalimat hujan
Tapi puisi adalah suara yang terbaca
Memang untuk hati yang tepat
Meski ia kehilangan kibaran sayapnya
Terbakar ditengah perjalanan atau mengabu tepat di saat hinggap
Ia tetaplah puisi yang pernah terbang jauh dari penulisnya
Kata-kata menjadi bulu sayapnya
Adalah kerapuhan jiwa penulisnya
Yang terjegal tangan dan kakinya untuk bertindak jauh
Kata-kata saja ia terbangkan, ia lontarkan
Untuk mencari jiwa pemilik rindu yang sama
Meski sama karamnya juga, diakhir temu
Ah, bisakah kutitipkan seutas rindu padamu
Lewat kata bersayap, bahwa kita tak bisa lekas karam
Sebelum sungguh menemu jiwa yang sama rindu
Kita menolak karam sebelum mencoba terbang
Sebelum bertemu kamu, sungguh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H