Mohon tunggu...
Ecik Wijaya
Ecik Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Seperti sehelai daun yang memilih rebah dengan rela

Pecinta puisi, penggiat hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mantra Hujan; Airmataku yang Berwarna Merah

19 Desember 2021   13:29 Diperbarui: 19 Desember 2021   13:41 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantra hujan, mantra hujan
"Segeralah, rapalkan dengan batinmu yang kuat" serunya
Aku terkatup dan menunduk lebih dalam
Bagaimana bisa mantra hujan aku rapalkan
Bukankah hari begitu terik dan kepadatan lalu lintas di kepalaku sungguh membuat tumpul
Ingatan yang bertubi-tubi berjejalan tanpa ada ruang jeda
" Sudahlah, rapalkan saja dan lihat bagaimana nanti!" tukasnya

Ya, mantra hujan
Sebentar, aku lihat langitku
Masih saja menyimpan merah tanpa ada titik hujan
Bagaimana bisa aku merapal mantra
Tak ada sedikit tanda aku perlu merapalnya segera
Aku bersungut memutari halaman  rumah
Mencari tanda lebih terang daripada kilau cahaya
Aku malah lebih buram menelisik tiap tanda
Padahal aku masih harus mencari sebelum sungguh aku merapalnya dengan rela

"Oh Tuhan, mengapa kau masih saja bersikukuh tak merapalnya?
Apa yang kau tunggu?!
Menunggu langitmu terbelah dan terbakar
Lalu kau turut mengabu dalam  kekacauanmu sendiri?
Itu yang kau mau?sungguh?!
Sudahi, segala retorika dan logika yang hilir mudik seharian itu
Kau sedang tertipu!"
Ia berteriak kencang bagai angin menderu
Gumanku sekedar debu baginya, mungkin

Sebenarnya aku tak perlu menggunakan logika  terlalu jauh
Atau beretorika kesana kemari
Bagiku, kewajaran yang diterobos oleh tingkah yang merusak
Sudah mencukupi terbakarnya langit batinku
Lalu agar aku tak sama dengan pelaku
Aku harus merapal mantra hujan?
Begitu?
Ya begitulah, mantra hujan hanya untuk meneduhkan langitku  sendiri
Sedangkan bagi pelaku masih ada pintu keluar dari kata maaf
Sungguh absurd!

Tapi aku memahami seruanmu, teriakanmu
Mantra hujan harus kurapalkan  segera
Agar aku tak ikut terbakar dalam kobaran dan mengabu
Meski sebagai penyaksi terhadap laku yang keji
Dan kesewenang - wenangan tingkah yang melukai nurani
Aku harus sungguh rela merapal mantra hujan
Aku ingin langitku turun hujan agar airmataku bisa membanjiri sisi kerinduanku
Atas nama kasih sayang, empati, simpati dan kehormatan diri

Aku merapalnya dengan sungguh-sungguh
Jauh didalam cangkang malam yang hitam
Agar ketika hujan datang, tak ada yang melihat airmataku berwarna merah!

Aku rela!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun