Begitu juga dengan pendaki gunung berkebutuhan khusus tadi. Ia memilih pikiran bahwa ia mampu. Pikirannya terkonsentrasi kuat pada pilihan pikiran tersebut. Lalu file-file otak mendorongnya pada hal-hal terkait dengan impian tersebut. Mendekatkannya pada hal yang berhubungan dengan mendaki gunung. Kamudian lahirlah sikap, berupa tindakan. Dan terakhir tampaklah hasil. Bisa jadi ia berhasil menaklukkan gunung. Bisa jadi juga gagal. Namun sebuah pilihan pikiran telah membuatnya bergerak. Apa jadinya jika ia tak menebalkan pikiran, terjebak pada jugdmen buruk orang-orang? Tentu saja ia takkan kemana-mana, bukan?
Seperti itulah kronologi berpikir manusia. Jika mau jadi manusia positif, otomatis pikirannya harus dijaga tetap positif. Jangan biarkan prasangka hadir. Sekali ber-prasangka, maka otak akan menghadirkan file-file serupa. Sekitarpun seakan membenarkannya, membuktikan. Postingan orang yang dianggap ‘musuh’ di medsospun akan dianggap sindiran yang ditujukan untuk dirinya (bukankah kasus ini banyak sekali korbannya?) Ujung-ujungnya lahirlah sikap permusuhan dengan sesama. Yang retak semakin retak. Yang tak bertegur sapa semakin dalam jurang pemisahnya.
Hanya ada dua pilihan pikiran dalam hidup ini, berpikir positif atau terpuruk di pikiran negatif. Pikiranlah yang membedakan manusia dengan penghuni bumi lainnya. Pikiranlah yang mengeluarkan manusia dari unsur kehewanannya. Berpikir positif? Kita pasti bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H