Pernah dengar ungkapan, harus sudah adil sejak dalam pikiran? Yak, saya yakin semua kita sudah tahu kalimatnya Pram ini. Tapi kali ini kita tidak bahas soal keadilan.
Dulu saya hanya tahu baik buruk itu memang sudah datang dari sononya. Dalam artian tak bisa dirubah. Seseorang yang baik sejak awal akan tetap baik selamanya, begitupun sebaliknya. Namun kemudian kehidupan perlahan menggiring saya pada pemahaman bahwa hal baik bisa berubah buruk, burukpun bisa menjadi baik, tergantung konteksnya. Dan saya pun terdampar pada pengertian bahwa baik dan buruk itu adalah hasil pilihan dari pikiran sadar, hasil keputusan.
Ketika melihat seseorang mondar-mandir di halaman penuh kerikil, cuaca panas terik, apa yang muncul di benak?
Bisa jadi ada yang menilai orang tersebut gila. Masak mau-maunya berpanas-panas di bawah cuaca terik. Kalau bukan gila, bisa jadi dia sedang galau akut.
Nah, ini sebuah pikiran yang diputuskan mengenai orang yang mondar-mandir tersebut.
Lalu ada lagi yang nyeletuk menanggapi. Oh, mungkin dia sedang mencari sesuatu yang hilang. Cincin, gelang, atau apalah githu. Gak mungkinkan dia mau berpanas-panasan kalau tak penting baginya?
Orang kedua ini memilih pendapat berbeda dari orang pertama. Ia memilih pikirannya sendiri yang kemudian melahirkan kesimpulan.
Kedua pikiran orang diatas adalah hasil keputusan. Keputusan yang diambil oleh pikiran sadar. Yang lantas menjadi cara, menjadi kebiasaannya dalam menyikapi sesuatu yang terjadi dalam kehidupan. Seperti yang kita ketahui, cara pandang seseorang berpengaruh besar terhadap kualitas kehidupannya. Baik sebagai individu manusia maupun sebagai hamba Tuhan.
Kembali ke contoh di atas. Jika saja orang pertama mau bersabar mencari tahu, ia tentu akan dapatkan jawaban. Bahwa ternyata orang yang mondar-mandir itu sedang berolah raga memanaskan tubuh, kakinya, yang sedang didera rematik atau asam urat. Dan itu artinya orang pertama telah keliru memilih pikiran. Rugikah dia dengan kekeliruannya? Iya. Sebab satu pikiran buruk (prasangka, penilaian buruk) ini akan menggiringnya pada rentetan berpikir berikutnya.
Lantas bagaimana dengan orang kedua yang tebakannya salah? Ia mengambil pikiran yang menghasilkan asumsinya sendiri, mencarikan alasannya sendiri. Bisa jadi itu hasil pengalaman pribadi, atau pengalaman orang lain. Salahkah ia sudah berpikir seperti itu? Tidak.
Kesimpulannya memang tidak sesuai. Namun caranya ‘memasang’ pikiran sudah tepat. Karena pilihan pikiran itulah otaknya memunculkan file-file senada yang kemudian menghadirkan asumsi (cincin hilang). Bisa jadi dari pilihan pikirannya, lahirlah empati.