Mohon tunggu...
Eci FE
Eci FE Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tips Menetralkan Rasa; Nano-nano Rasa

14 Juli 2016   16:39 Diperbarui: 14 Juli 2016   16:46 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear, adik-adikku. Garam yang dicampurkan ke segelas air vs garam yang dicampurkan ke hamparan danau. Sudah begitu bebal telinga dengan analogi ini. Bagaimana jika kita cari analogi baru yang mewakili saja? Tak jauh-jauh. Mungkin pada sepapan pare yang baru saja dicabut dari tampuk batangnya.

Kabar dari dapur, pare yang direndam air garam, ketika dimasak, akan berkurang rasa pahitnya. Sebentar, sepertinya ada yang berkait di sini, pada pahit yang mampu teredam oleh asinnya garam. Lihatlah, bahkan unsur rasa pokok itu pun saling membutuhkan satu sama lain. Bukankah ini sebuah refleksi dari alam? Alam memberi contoh kepada kita. Kepahitan-kepahitan itu, susah sedih perih itu, ucapan-ucapan memilukan itu, rendamlah ia dengan larutan garam yang asin. Bukankah sebelum fase pahit, sudah pula pernah kita lewati fase asin dalam kehidupan ini. Sebab begitulah kita, tak pernah menetap dalam satu fase rasa saja.

Lalu, jika tak tahan dengan asinnya garam, kita pun bisa menawarnya dengan manisnya gula. Bukankah kuah gulai yang terlanjur asin, bisa ditawar dengan melempar sejumput gula pasir ke dalamnya? Begitulah permainan rasa. Begitulah rasa-rasa dalam kehidupan ini.

Masalah rasa, bolehlah dianggap manipulatif perasaan belaka. Ia tak nyata. Ia hanya akan terasa jika kita membiarkan alat indra terbuka lebar menyampaikannya. Ia hanyalah angin yang membawa berbagai bebaunan saja. Jika kau menutup alat indra, tentu ia takkan sampai ke dalam dirimu. Jikapun terlanjur masuk, kau bisa tawar dengan varian rasa yang sudah ada sebelumnya.

Seperti lidah, berponjok-ponjok menerjemah rasa. Pada bagian ujung lidah, penyambut pertama makanan, ia mengirimkan rasa manis. Ini sama seperti masa kecil kita dulu, penuh hal-hal manis. Beranjak ke dalam, lidah berponjok-ponjok menerjemah rasa asin, pahit, hambar, dan nano-nano rasa lainnya. Begitupun kehidupan ini. Semakin beranjak waktu memutar balikkan hidupmu, semakin banyak jumlah rasa yang ia perkenalkan padamu. Terima saja, sambil berselancar dalam ombak-ombak rasa.

Ini arah pandang ke dalam diri, lantas bagaimana kita memaklumi orang-orang di luar diri yang kita kira tengah melempar panah-panah tajamnya pada kita (sayangnya bukan panah ala peri cinta)?

Ah, tidak, tidak ada selembar daunpun yang jatuh tanpa sepengetahuan pemilik alam ini. Semua terjadi atas izinNya. Mereka, orang-orang yang kau kira tengah menghujammu dengan anak panah tajamnya, dia, mereka itu, hanyalah jiwa-jiwa pinjamanNya yang sengaja dipakai guna menempamu. Jika pun tak melalui mereka, akan tetap dihantarkan pelajaran itu melalui jiwa-jiwa yang lain. Itu artinya, takkan tertukar apa-apa yang sudah dijatahkan kepadamu. Takkan melenceng semili-meterpun ketentuan itu darimu.

Jadi, nano-nano rasa yang dihidangkan ke muka wajah itu, memang sudah rezeki bagi kita. Masalah rezeki ini pun, kita mesti selalu ingat, ia hadir tak hanya dalam bentuk fisik, materi belaka. Tapi juga hal-hal yang membuat lapang seperti halnya pahit asin asam itu melapangkan kita. Melapangkan kita? Apa keningmu berkerut, sejak kapan pula kepahitan rasa disebut kelapangan, disebut rezeki? Kujawab, sejak kau menyadari kau hadir ke dunia bukan untuk bersenang-senang.

Kau sudah tahu dan setuju bumi ini bulat bentuknya, bukan? Punya sudut pandang tak hingga? Hal inilah yang mesti kita terapkan pada mereka. Kau tinggal pandangi wajah merah mereka dengan sedikit manipulasi mata. Mungkin dengan menambahkan alis mata super lentik pada matanya. Menambahkan bulatan merah di hidungnya dengan ukuran besar. Menambahkan selubung rambut ala sarang burung tempoa di kepalanya. Lalu dengan warna-warni cerah, kau bisa melukisnya sesuka hati. Ah, inilah sedikit bagian kekanakan yang mesti dibawa selalu hingga masa tua, imajinasi masa kecil.

Cara lainnya, agak sedikit serius, kau boleh anggap mereka para penghujam anak panah tajam itu sedang sakit. Ada banyak sekali jenis penyakit yang membuat lidah seseorang berduri tajam. Makanya tak usah kau pelihara telinga tipismu itu. Pandanglah ia, mereka, siapapun itu dengan sudut pandang berbeda. Jadilah danau yang tak tercemari meski siserakkan segerobak garam sekalipun. Jadilah penyaring dari masuknya nano-nano rasa ke dalam indrawi jiwamu. Sekeras, sekejam, sedalam, sepedih apapun kosa kata yang hinggap ke telingamu itu. Kau telah dibekali penyaring hati. Gunakan saja. Saring lalu rubah pengertiannya hingga yang masuk itu malah jadi energi penggerak.

Dan, kau pun sudah punya senjata seorang muslim. Kau berkali-kali diajarkan menggunakan keduanya. Maka keluarkanlah ia setiap saat. Keluarkan kedua senjata syukur dan sabar itu. Lantas tutupi ia dengan selimut ikhlas. Begitu saja. Mudah, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun