Mohon tunggu...
Eci FE
Eci FE Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Filosofi Santan Kelapa; Bercermin pada Santan Kelapa

27 Mei 2016   11:37 Diperbarui: 27 Mei 2016   11:50 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya usul, gimana kalau pihak berwenang menyelenggarakan saja lomba pacu panjek baruak dalam event tertentu? Tentu ini akan menarik perhatian turis domestik atau luar untuk datang menyaksikan teatrikal unik ini. Selain melanggengkan budaya, income daerah pun diharapkan bisa bertambah karenanya. Semoga ada yang menanggapi usulan ini!

Kembali ke persoalan santan kelapa tadi. Saat asik-asiknya berdiam di pucuk pohon yang menjulang tinggi, sebutir kelapa tiba-tiba dipaksa tercerai dari tampuknya. Sabut-sabut penutupnya dicabut dengan pisau ataupun alat besi dengan kasarnya. Tak sampai di situ. Setelah bersih sari serabut, sebutir kelapa tadi lantas di pukul lagi dengan parang hingga terbelah batok kerasnya. Air beningnya keluar deras. Tentang air kelapa ini, pikiran bodoh saya sempat bertanya-tanya. Kok bisa ada ya air dalam batok kelapa ini? Lewat dari mana? Kan jauh banget dari akarnya? Tentu pertanyaan ini tidak untuk dijawab oleh para ahli botani ataupun biologi.

Lanjut. Setelah batok terbelah, terlihatlah lapisan putih bersih melekat di batok itu. Lantas lapisan putih ini diparut hingga berjatuhan berupa ampas putih. Belum berakhir nasib tragisnya, si ampas ini diperas lagi dalam larutan air. Digencet-gencet sekuat tenaga. Diambil sari patinya, lantas dibuang atau dipelkanlah si ampas kelapa tadi ke lantai. Konon, alat pel alami ini berkasiat membuat lantai jadi mengkilat, kinclong. Setelahnya? Dibuang. Manusia telah mendapatkan sari pati yang dicarinya.

Cerita belum usai. Sari pati, atau santan kelapa tadi harus rela berbagi tempat dalam kuali. Bahkan ia sudi direnangi berbagai bumbu beserta rempah beraroma kuat. Warna putihnya dicemari oleh kuningnya kunyit, merahnya cabe. Setelahnya ia dibakar dengan api panas hingga mendidih. Berteriak-teriak, berbuih-buih di dalam kuali, tak membuat seorang pun bersedia membebaskannya. Setelah puas tersiksa panas, ia berubah kental. Tak tersisa lagi warna putihnya. Dimasakan tertentu ia malah berubah jadi hitam pundam. Atau ketika ia harus dijadikan kolak, ia malah berubah warna kecoklatan. Menahan dingin karena dicelupkan bongkahan es. Menyedihkan. Dipetik dari ketinggian hanya untuk disiksa lantas masuk perut manusia.

Etapi, benarkah seburuk itu nasib si buah kelapa ini? Tidak.

Ia malah sebaliknya. Sebutir buah kelapa telah melalui proses panjang. Tidak mudah baginya untuk terhidang ke meja makan tuan-tuan dan puan-puan manusia terhormat. Begitu kuah santan yang telah menjadi gulai maupun rendang sampai ke mulut tuan puan, tercapailah impian. Mimpi sebutir kelapa yang hendak jadi santapan lezat telah usai tercapai. Sebab tak semua buah kelapa berakhir seindah itu nasibnya. Banyak diantara mereka yang diabaikan, jatuh oleh angin, lantas membusuk di kebun berlumpur, tak menjadi apa-apa. Tak bermanfaat. Tak membawa kasiat.

Alam takambang jadikan guru. Sudahkah kita bisa menjadi sebutir buah kelapa itu?

Sakit, pahit, buram, terjepit serta segala macam kesakitan itu, tak lantas menjadikan kita merasa hina. Kita sengaja diasah agar jadi manusia sempurna. Butir kelapa tak pernah dendam pada parang, pada alat parut, ataupun pada sang baruak. Sebab dengan segala proses panjang itulah sebutir kelapa mencapai ke-sejatian ketinggian posisinya sebagai buah kelapa. Dari tiada menjadi ada, lantas kembali menjadi tiada.

Semoga tulisan ini bisa bermanfaat. Al fatihah, dongbuat Nenek saya di sana? ^_^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun