Mohon tunggu...
EMS
EMS Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pahlawan Propaganda

11 November 2016   02:19 Diperbarui: 11 November 2016   02:40 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://baliskytour.files.wordpress.com/

Desiran angin membisikkan telingaku, aku terdiam menyadari sunyinya hari itu. Burung-burung yang biasanya bersiul-siul seakan hilang dari peradaban. “Apa yang sedang terjadi? Pertanda apakah ini?” Tanyaku dalam hati. Tak lama kemudian terdengar suara berat mobil disertai dentuman keras dan tembakan ke arah langit. Tanpa berpikir panjang aku berlari kembali ke desa. Dari atas bukit kulihat sekitar sepuluh mobil besar berisikan prajurit-prajurit berkulit putih bermata sipit. “Siapakah mereka? Apakah mereka si Jepang yang ramai diceritakan banyak orang itu?”

“Bunga! Cepat ke sini!” Teriak seorang pemuda dari arah barat. Pemuda itu adalah Tomo. Tomo dan aku merupakan sahabat sedari kecil, usia kami hanya terpaut 1 tahun. Orang tua kami merupakan pekerja di ladang sawah milik kepala desa yang konon katanya adalah bekas penjajahan Portugis. Maka dari itu setiap orangtua kami bekerja, kami akan menghabiskan waktu bersama sepanjang hari. “Dari mana saja kamu? Bahaya! Cepat ke sini!” aku langsung berlari menghampiri Tomo sebelum amarahnya semakin meluap. Sifat dingin Tomo mengalahkan dinginnya udara di puncak gunung kala pagi tapi sifat Tomo sebenarnya adalah wujud nyata kepeduliannya terhadapku.

“Apakah Si Jepang itu akan menetap?” “Sepertinya begitu,” jawab Tomo murung, untuk pertama kalinya aku mendengar Tomo mengucapkan kata-kata dengan penuh kesedihan di raut wajahnya. Hanya berselang sekitar beberapa bulan sejak Belanda meninggalkan desa kami dan Jepang datang untuk melakukan hal serupa terhadap kami. “Apakah ini akan menjadi lebih buruk atau kah ini akan menjadi lebih baik?” Terpikir olehku. “Ah apapun itu penjajahan tetaplah penjajahan,” sahutku dalam hati lagi.

“Semua berkumpul di balai desa segera!” Teriakan seorang Jepang dari arah balai desa. Aku dan Tomo yang berada dibalik pepohonan dekat balai tentunya mendengar teriakan itu, tapi penduduk desa yang lain, yang sedang bekerja di ladang tentunya tidak akan mendengarnya. “DER! Semua harus berkumpul di balai sekarang juga!” Lagi lagi tembakan keras ke arah langit mereka lontarkan disertai teriakan salah seorang prajurit bermata sipit itu. Tak lama seluruh warga desa berlari berhamburan ke arah balai desa. Melihat kedua orang tuaku berada di kerumunan orang-orang, aku dan Tomo berlari menghampiri mereka. Takku sangka air mata ibuku bercucuran membasahi pipinya, aku tidak berani bertanya mengapa tapi aku yakin ini berkaitan dengan orang Jepang ini. Aku menggenggam tangan ibuku lalu ia terkejut. 

“Apa kau baik-baik saja, nak?” Tanyanya seorang ibu dengan segala rasa kecemasannya dan akupun menganggukkan perlahan kepalaku. “Tidak perlu khawatir dengan ladang kalian! Kami di sini untuk membantu kalian semua!” Teriak seorang prajurit Jepang. Beberapa saat kemudian datanglah seorang pria Jepang, aku rasa umurnya baru sekitar tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun, parasnya elok, bersih, tidak seperti kaum pribumi. “Selamat siang semua! Maaf atas kedatangan kami yang tiba-tiba ini. Saya adalah Akihiro, saya akan bertanggung jawab atas segala yang terjadi di desa ini. Saya tahu apa yang kalian alami selama ini karena kedatangan pasukan Belanda. 

Kami di sini bukan untuk menjajah, Indonesia merupakan saudara kami, tentu kami akan membantu Indonesia! Mari kita bersama-sama bergandengan tangan membebaskan diri, melawan kolonial Belanda!” Perkataan itu terlontar dari orang asing yang datang secara tiba-tiba ke desa kami, pasukan yang pada awal kedatangan saja sudah melontarkan dentuman ke arah langit. “Apakah benar yang ia katakan itu?” Tanyaku dalam hati. Kulihat tidak ada kegembiraan yang tergambar di wajah masyarakat desa. Aku yakin mereka semua masih bertanya-tanya sepertiku. 

Di tengah keheningan, Akihiro melanjutkan perkataan yang tak kalah mengejutkan, katanya “Ketika kami berada di Indonesia, harga barang-barang dan keperluan sehari-hari tidak akan mahal untuk kalian dapatkan, tidak seperti Belanda yang menggunakan biaya cukai dan pajak yang tinggi. Apalagi jikalau Jepang menjabat dan mengelola Indonesia pasti semuanya akan menjadi lebih murah.” Raut tegang dari wajah warga desa perlahan memudar, seakan mendapatkan kehidupan baru mereka semua mulai menjadi antusias, percakapan panjang antara warga dan Akihiro mengenai janjinya itu terus berlanjut.

Setelah lebih dari beberapa jam kami berkumpul di balai desa, kami dipersilahkan kembali ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, tangisan ibu yang pada awalnya membasahi seluruh wajahnya berubah menjadi senyuman kebahagiaan. Ayah pun begitu. Mereka saling mengemukakan perasaan bahagia mereka atas kedatangan Akihiro dan prajuritnya ke desa kami, mereka merasa seperti datangnya seorang pahlawan ke desa kami. Melihat mereka tersenyum bahagia dan mendengar curahan perasaan mereka tentang kedatangan Jepang membuat kecurigaanku menghilang begitu saja.

Matahari menyingsing dari arah timur, hari yang baru telah datang. Setelah beberapa bulan kedatangan Jepang, senyum lebar terus terpapar dari wajahku. Aku bergegas untuk keluar rumah untuk melihat wajah Akihiro, si pahlawan dari negara matahari terbit. Aku memilih baju terbaik yang terdapat di lemari tuaku kemudian menata rambutku yang kusut karena tidur yang begitu nyenyak semalam. Ibu dan ayah sedang mempersiapkan segala hal sebelum mereka pergi ke ladang. Sepertinya semenjak kemarin malam wajah kami tak pernah luput dari senyuman.

Aku melangkahkan kakiku dengan penuh semangat. Alam seakan tahu isi hatiku, seakan ikut bergembira menemaniku. Dalam kejauhan terlihat seorang pria muda pribumi yang nampak tak asing bagiku. Ternyata benar, itu Tomo. “Ada apa ini? Bunga si gadis urakan tiba-tiba menjelma menjadi putri kodok, wajahnya berseri-seri pula,” godanya. “Bukan putri kodok, putri raja. Memangnya tidak boleh sekali-kali berandai menjadi seorang putri?” Jawabku ketus. “Memangnya ada pria yang mau menjadi suamimu?” Tomo masih menggodaku. “Ya suatu hari nanti pasti ada pria yang akan melamarku kemudian menikahiku,” Jawabku sambil tersenyum menahan perasaan maluku. 

“Ya semoga ya Bunga,” balas Tomo dengan tawanya. “Lalu sekarang kamu mau ke mana?” Tanya Tomo lagi. “Balai desa,” sahutku. Dengan wajah curiga Tomo berkata, “Jangan-jangan kamu menyukai si Jepang itu ya? Setiap hari tidak pernah absen menyetor muka ke balai desa.” Aku hanya dapat tersenyum mendengar pertanyaan Tomo, aku tidak dapat membalasnya dengan kata-kata. Aku takut Tomo mempunyai pemikiran yang berbeda denganku kemudian mengeluarkan kata-kata dinginnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun