“Membunuh malam ternyata tak semudah membunuh nyamuk dengan sekali tebasan tangan”, Prita masih menceracau sendiri di kamar remangnya. Udara semilir, dingin yang menusuk. Jam menunjukkan pukul 4 pagi, ayam mulai bersahutan satu sama lainnya. Meski belum terlalu ramai. Prita begitu gembira mendengar suara ayam berkokok.
“Suara ayam berkokok, berarti sudah hampir pagi. Betapa leganya aku”, dari intonasi kalimatnya, Prita begitu lega. Senyum tersungging manis di wajahnya, wajah kuyuh dengan lingkaran mata yang menghitam.
“Kurir kematian bak berada di samping, persis di sebelah tempat tidur. Tak ingin tidur, takut kematian. Semua menjalar di sekujur tubuh, memberikan peringatan kepada otak. Mata, jangan sampai mengantuk. Tahan, tahan jangan sampai tertidur. Aku ingin sekali membunuh malam”, Prita kembali ketakutan, dia tersudut di pinggir kamar.
Prita menangis sejadinya, memori usang kembali terkuak ke permukaan. Nafasnya memburu, mulutnya menceracau tak jelas. Airmata dengan mudah keluar dari sepasang bola matanya yang berwarna coklat. Mengalir di pipinya, jatuh di di lantai bermarmer hijau lumut. Dapat dia rasakan airmatanya yang asin.
“Firasat yang datang benar-benar tak bersahabat. Ketika ingin terlelap, terbuai mimpi. Firasat kematian sekelebat menghampiri kembali. Bagaimana jika esok tak kutemui lagi mentari, bagaimana jika esok yang kudengar lagi suara ayam, bagaimana jika esok hari aku tak dapat menghirup udara segar”. Tangisnya semakin menjadi, bayangan kematian, dan malam seolah mengejarnya. Prita ingin membunuh malam, prita tak ingin terlelap. Dia takut kematian.
“Kurir kematian laksana alarm yang mengingatkanku. Bahwa kematian memang begitu nyata. Kematian hal yang paling pasti di dunia ini. Kematian lebih dekat daripada urat nadi, lebih dekat, sangat dekat. Hingga tak mampu diterka, kapan. Semalam, Aku tak ingin tertidur, benar-benar takut dengan tidur”.
Detik jam semakin melambat, Prita masih setia menanti pagi. Antara khawatir, antara harap cemas. Dia hanya ingin memenangkan atas malam, dia lebih memilih pagi. Dimana tak ada gelap, dimana tak ada tidur. Dia tak ingin terlelap meski sangat lelah, dia tak ingin tidur. Dan jam pun menunjukkan pukul enam pagi.
***
@echisianturi
Bandarlampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H