Mohon tunggu...
Echi Sianturi
Echi Sianturi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Sastra Inggris 2012 | Seorang yang menyukai dunia kepenulisan, penulis beberapa buku Antologi. Diantaranya Antologi Cerpen dan Puisi Cinta Dan Perempuan" (Leutika Prio), Antologi Puisi "Do'a & Harapan untuk Indonesia" (Meta Kata Publishing), Antologi Kisah Nyata Inspiratif "Sebuah Kenangan SNMPTN" (Penerbit Harfeey) dan lain-lain. Ketua Divisi Kaderisasi Forum Lingkar Pena Bandar Lampung. Volunteer Rumah Baca Asma Nadia Lampung, dan Executive Team dari Lampung YoA. Selain itu, memiliki minat yang cukup besar di dunia perfilman, seni, sosial dan pendidikan. Seorang pendaki pemula yang langsung jatuh cinta dengan keindahan alam. Pemimpi dengan sejuta asa. Penikmat hujan, langit dan senja. Contact: Twitter @echisianturi | Fb Desi Ilham Sianturi | www.echisianturi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Membunuh Malam

8 Juni 2015   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:10 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            “Membunuh malam ternyata tak semudah membunuh nyamuk dengan sekali tebasan tangan”, Prita masih menceracau sendiri di kamar remangnya. Udara semilir, dingin yang menusuk. Jam menunjukkan pukul 4 pagi, ayam mulai bersahutan satu sama lainnya. Meski belum terlalu ramai. Prita begitu gembira mendengar suara ayam berkokok.

            “Suara ayam berkokok, berarti sudah hampir pagi. Betapa leganya aku”, dari intonasi kalimatnya, Prita begitu lega. Senyum tersungging manis di wajahnya, wajah kuyuh dengan lingkaran mata yang menghitam.

            “Kurir kematian bak berada di samping, persis di sebelah tempat tidur. Tak ingin tidur, takut kematian. Semua menjalar di sekujur tubuh, memberikan peringatan kepada otak. Mata, jangan sampai mengantuk. Tahan, tahan jangan sampai tertidur. Aku ingin sekali membunuh malam”, Prita kembali ketakutan, dia tersudut di pinggir kamar.

            Prita menangis sejadinya, memori usang kembali terkuak ke permukaan. Nafasnya memburu, mulutnya menceracau tak jelas. Airmata dengan mudah keluar dari sepasang bola matanya yang berwarna coklat. Mengalir di pipinya, jatuh di di lantai bermarmer hijau lumut. Dapat dia rasakan airmatanya yang asin.

            “Firasat yang datang benar-benar tak bersahabat. Ketika ingin terlelap, terbuai mimpi. Firasat kematian sekelebat menghampiri kembali. Bagaimana jika esok tak kutemui lagi mentari, bagaimana jika esok yang kudengar lagi suara ayam, bagaimana jika esok hari aku tak dapat menghirup udara segar”. Tangisnya semakin menjadi, bayangan kematian, dan malam seolah mengejarnya. Prita ingin membunuh malam, prita tak ingin terlelap. Dia takut kematian.

            “Kurir kematian laksana alarm yang mengingatkanku. Bahwa kematian memang begitu nyata. Kematian hal yang paling pasti di dunia ini. Kematian lebih dekat daripada urat nadi, lebih dekat, sangat dekat. Hingga tak mampu diterka, kapan. Semalam, Aku tak ingin tertidur, benar-benar takut dengan tidur”.

            Detik jam semakin melambat, Prita masih setia menanti pagi. Antara khawatir, antara harap cemas. Dia hanya ingin memenangkan atas malam, dia lebih memilih pagi. Dimana tak ada gelap, dimana tak ada tidur. Dia tak ingin terlelap meski sangat lelah, dia tak ingin tidur. Dan jam pun menunjukkan pukul enam pagi.

***

 @echisianturi

Bandarlampung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun