Saya lahir dan besar di Situbondo, salah satu kota kecil di Jawa Timur yang akses transportasinya syulit. Sesulit mencari nakes yang apik di daerah. Ya namanya juga kota kecil, jadi saya berusaha terus pahami. Semenjak kuliah di Bogor hingga merantau lebih 20 tahun di Jakarta, saya memang jarang pulang. Macam-macam alasannya, dulu takut dijodoh-jodohkan secara usia 30 tahun kurang saya belum menikah juga kala itu. Atau juga malas karena circle pertemanan sudah berbeda.
Kalau saat punya anak kan berbeda urusannya hamil melahirkan perlu banyak pemikiran pulang atau tidak, lalu biaya transportasi yang lumayan juga membuat saya jarang menengok kota kelahiran saya ini selama 20 tahun terakhir. Yaaah, bayangin saja. Ujung pulau ke ujung pulau kan transportasinya.
Tapi kedatangan saya terus dinanti sama orang tua, terutama Mama. Dulu saya tidak menyangka Mama pergi begitu cepat. Mama saya masih muda saat itu baru 60 tahun kurang kalau tidak salah. Â Tapi kebetulan Mama memang sakit lama 2 tahun kena ginjal dan harus cuci darah. Akhirnya di akhir, saya pulang dan Mama memang tidak ada. Iya, menunggu saya pulang hiks.
Baca Juga:Â Hemodialisa
Btw, karena perlengkapan medis Mama lengkap ketika saya sakit sekarang otomatis saya yang pakai. Dari kursi roda, tabung oksigen, ranjang rumah sakit dll. Â Padahal itu bertahun-tahun Papa simpan dan tidak berani utak atik, karena mengingatkannya pada Mama. Dan yang bikin beliau sedih, anak perempuan satu-satunya ini juga sakit. Seakan membuka kenangan pahit dulu saat merawat Mama hingga detik terakhir. Tapi memang MasyaAllah ya cinta suami itu, Papa merawat Mama sampai akhir. Sama dengan suami yang merawat saya sampai akhir. Tanpa pantang menyerah. Â
Dear Situbondo, tapi semales-malesnya saya datang ke kota kelahiran ini semua kenangan dan nostalgia ada di sini. Kenangan sekolah, kenangan belajar jalan hingga menikah pun saya di Situbondo. Mungkin kalau tenaga kesehatan dan fasilitasnya lebih digalakkan lagi bisa membuat sempurna. Tidak perlu membuat berbagai tujuan wisata lagi namun akhirnya malah jadi terbengkalai. Cukup maksimalkan yang ada dengan potensi dioptimalisasi, yah menurut saya sih kalau lihat kota kelahiran ini.
Dear Situbondo, saya tetap suka rawon, tajin palappa dan apen yang lezat. Apalagi menyantap rujak cingur atau bakso yang 100 kali lebih enak dibanding saat di Jakarta siang hari bikin saya ingin selalu di sana. Tapi ya jangan terusan kulineran nusantara, tetap pengen yang namanya pizza, ramen dll yang memang tidak ada di Situbondo hehehe.
Dear Situbondo, jadi ingat di sini dulu cuma 1 toko yang punya eskalator. Setiap hari orang datang naik truk rombongan hanya untuk mencoba eskalator. Ya mungkin semirip dengan viralnya mall di Bondowoso yang datang pada gelar tiker dan bawa rantang makanan sendiri gitu.
Dear Situbondo kota santri, kuatnya kehidupan agamis di sini kadang membuat saya sering bertanya-tanya. Karena antara adat dan agama jadi satu yang mungkin berbeda dengan yang biasa saya lakukan saat di Jakarta. Tapi saya tetap senang dengan kota Situbondo mengingat Situbondo masih bisa berdampingan . Dan amit-amit jangan sampai terjadi lagi kasus pembakaran yang menghebohkan dulu itu, malu :"(.
Dear Situbondo, sebenarnya saya menyayangimu. Love hate relationship pokoknya sama kota ini. InsyaAllah suatu saat nanti, saya akan di sana juga. Seperti Mama yang dikuburkan tepat hari ini di 6 tahun lalu. Nanti kami akan berdampingan dan melihat banyaknya perubahan Situbondo yang pasti akan lebih maju daripada sekarang. Â
Tapi kali ini... Dear Situbondo, titip Mama ya!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H