Setelah pemerintah mengetok palu penghapusan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, publik terheran-heran karena banyak yang beranggapan bahwa limbah batu bara adalah perusak lingkungan.Â
Namun sadarkah Anda bahwa terdapat teknologi yang mencetak limbah batu bara menjadi non limbah B3? Ya, teknologi tersebut adalah PLTU (pembangkit listrik tenaga uap).Â
Menurut keterangan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PLSB3), Rosa Vivien Ratnawati, pihak industri yang menggunakan teknologi pembakaran batu bara dengan tungku akan menghasilkan kategori limbah B3, sedangkan industri yang menggunakan PLTU atau fasilitas pulverize coal mencetak non limbah B3.Â
Bahkan, sekalipun menjadi limbah, 'ampas' ini masih dapat dimanfaatkan menjadi bahan-bahan di kehidupan manusia. Diantaranya seperti bahan bangunan, substitusi semen, jalan, restorasi tambang hingga tambang bawah tanah. Walaupun limbah tersebut tidak termasuk dalam limbah B3, namun tidak boleh dibuang sembarangan dan harus dikelola dengan sedemikian rupa.Â
Sedangkan dalam pengketokan palu pemutusan dikeluarkannya limbah batu bara limbah B3, bukan Indonesia saja yang telah melakukannya. Negara besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, India, Vietnam, bahkan Jepang telah memberlakukan kebijakan tersebut. Dihapusnya limbah batu bara dari kategori limbah B3 disambut baik oleh Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani.Â
"Kita lihat saja kenyataannya, di negara lain justru diolah dan menjadi berfungsi karena punya nilai komersil," katanya.
Pihak Apindo sebelumnya telah mengusulkan penghapusan abu batu bara (limbah batu bara) dari kategori limbah B3. Industri Indonesia selama ini menghasilkan 10-15 juta ton per tahun limbah batu bara dengan tingkat pemanfaatan hanya 0-0,96% untuk fly ash dan 0,05-1,98% untuk bottom ash (limbah FABA).
Di satu sisi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan yakni Nani Hendiarti, mengusulkan bahwa pemerintah wajib menerapkan kehati-hatian ketika hendak melakukan pemanfaatan limbah batu bara ini. Secara pararel, industri yang telah menggunakan teknologi PLTU telah melangkah lebih dahulu dan lebih tepat dalam menyusun skenario dan peta jalan pemanfaatannya.Â
Menurut Yohanes Surya, Penasihat khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, pemanfaatan limbah batu bara nantinya dapat menurunkan biaya produksi listrik dan mendapatkan keuntungan dari pemanfaatannya.Â
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mencatat, pada tahun 2018 proyeksi kebutuhan batu bara hingga 2027 adalah sebesar 162 juta ton. Sedangkan prediksi potensi limbah batu bara yang dihasilkan adalah 16,2 juta ton dengan asumsi 10% dari pemakaian batu bara.Â
Sebelum kebijakan ini diteken oleh Jokowi, penanganan limbah batu bara masih sebatas penimbunan lahan. Jika limbah ini tidak ditangani dengan baik, akan mengakibatkan pencemaran yang masif.Â
Dari hal ini, publik dapat memetik pelajaran bahwa tak semua 'ampas' tidak bermanfaat. Ibarat 'ampas' kopi yang dapat digunakan sebagai bahan lulur di kehidupan manusia, mungkin begitulah limbah batu bara, dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia pula. 'Ampas' tersebut dapat dimanfaatkan asal penggunanya dapat bertanggung jawab dengan meneliti dan menelisik lebih lanjut bagaimana proses pengelolaan limbah hingga dapat digunakan di kehidupan sehari-hari.Â
Mengetahui limbah batu bara dapat dimanfaatkan, apakah Anda tertarik untuk mengelolanya lebih lanjut? Selain mendapatkan keuntungan, limbah ini nantinya juga bermanfaat bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Bagaimana menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H