Mohon tunggu...
Ebyn Majid
Ebyn Majid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Manusia yang masih mengembangkan bakatnya dalam bidang menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Romantisme Sekularisme Ataturk: Dialektika Agama dan Negara

16 Juni 2023   07:45 Diperbarui: 16 Juni 2023   07:50 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Negara Turki yang mayoritas Muslim, yang memerintah dunia Islam selama tujuh abad dari awal abad ke-13 hingga runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah pada awal abad ke-20, terkenal di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Fenomena kehidupan masyarakat Turki mendapat perhatian ketika Kemal Ataturk mendeklarasikan Turki sebagai republik sekuler pada tahun 1923. Islam telah berperan sebagai bentuk ibadah. Sementara cara hidup bermasyarakat dan bernegara selama lebih dari tujuh abad, fungsinya hilang, dan sistem Barat dengan gagasan sekularismenya menggantikan tempatnya.

Kesultanan Utsmaniyah mengalami kemunduran yang sangat menyedihkan setelah Perang Dunia I yang berlangsung dari tahun 1914 hingga 1918, ketika pihak Tengah yang didukung oleh Turki dikalahkan. Kekuatan di luar pusat masing-masing keluar dari kendali Turki Ottoman satu per satu. Lebih buruk lagi, negara-negara sekutu berusaha membagi wilayah Turki untuk menjadikannya koloni mereka. Kondisi kerajaan Turki yang hancur, menumbuhkan rasa patriotisme di masa muda Turki saat itu. Oleh karena itu, diperlukan realisasi segera pemikiran tentang identitas nasional dan pentingnya negara nasionalis yang mencakup bangsa Turki. "Elit birokratis dan militer yang siap dengan komitmennya dari rezim multinasional dan multiagama untuk menjadi negara nasional Turki dan sekuler" adalah ilustrasi yang bagus untuk ini.

Sebelum Perang Dunia II, Turki adalah negara Islam pertama yang secara terbuka berani menerapkan gagasan negara sekuler. Sebagai kebijakan politik, konstitusional, pendidikan, agama, dan budaya, sekularisme dipraktikkan. Komunitas Muslim secara keseluruhan tidak dengan suara bulat mendukung kebijakan ini. Oleh karena itu, menurut banyak orang, Islam tidak dapat hidup berdampingan dengan mentalitas ini. Semua sepakat bahwa Islam tidak bisa menjadi dasar bagi keyakinan orang-orang yang berhati nurani semata, melainkan fondasi bagi semua sistem sosial dan agama, yang karenanya menghadapi ujian berbahaya untuk mencoba melepaskan banyak bidang ini dari agama.

Terkait dengan sekularisasi dan modernisasi yang terjadi di Turki di bawah Rezim Kemalis, ia berkesimpulan bahwa sekularisme adalah semacam pemaksaan pemerintah daripada sekularisasi yang berkembang sebagai akibat modernitas seperti yang terjadi di negara-negara Eropa. Selain itu, sekularisasi di Turki pada saat itu merupakan replikasi yang disengaja dari norma-norma sosial yang dianggap kontemporer dan lebih berkembang dalam peradaban Eropa (1984: 318). Menurut Kemalis, orang Turki baru harus meniru orang Eropa baik dari segi perilaku maupun penampilan, selain berpikir logis seperti mereka.

Mustafa Kemal menganut sekularisme, modernisme, dan nasionalisme ketika ia mendirikan Republik Turki di atas reruntuhan Kesultanan Utsmaniyah. Dorongan sekuler, yang merupakan komponen paling menonjol dari reformasi Kemalis, dapat diamati dalam tiga cara. Yang pertama adalah serangan terhadap pusat-pusat kekuasaan tradisional ulama yang terlembagakan, yaitu sekularisasi negara, pendidikan, dan hukum. Yang kedua adalah penyerangan terhadap simbol-simbol peradaban Eropa. Ketiga, sekularisasi aktivitas publik dan penyerangan terhadap Islam yang dilakukan oleh individu. Langkah Kemalis yang signifikan adalah sekularisasi lengkap hukum keluarga, yang berdampak pada kehidupan sehari-hari penduduk melalui penghapusan perkawinan dan poligami agama. Ini di samping penghapusan kesultanan, kekhalifahan, dan proklamasi republik.

Refleksi Sekularisasi di Indonesia

Masuknya sistem kepercayaan dunia ke Indonesia terjadi pada awal abad seribu sembilan belas. Ideologi jatuh ke dalam dua kategori besar. Pertama, ideologi universal, yang menganjurkan agar agama menjadi motor penggerak keberadaan negara atau negara teokratis. Kedua, ideologi sekular, yang menentang kebangkitan agama sebagai faktor dominan dalam kehidupan bernegara. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama, negara harus netral. Jika Anda melihat bagaimana hal-hal telah berubah dari waktu ke waktu di Indonesia, masuk akal bahwa hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia untuk sebagian besar sejarahnya telah menjadi salah satu persaingan dan kecurigaan. Para pendiri republik ini, yang mayoritas beragama Islam, memiliki pandangan yang berlawanan tentang negara Indonesia merdeka yang ideal, yang menjadi penyebab utama konflik ini. Apakah bangsa itu "Islami" atau "nasionalis" adalah salah satu titik ketidaksepakatan yang paling signifikan.

Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme, dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Soekarno sebagai tokoh nasionalis sekular, menjelaskan bahwa nasionalisme adalah rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, yang terhindar dari semua faham yang sempit. Baginya, rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat kepada segala sesuatu.

Peta politik Indonesia menggambarkan negara sekuler yang moderat di mana agama (Islam) tidak dijadikan landasan fundamental negara. Namun, nilai-nilai agama tetap dijunjung tinggi dan dijadikan landasan moral bagi kehidupan bermasyarakat. Sekularisme adalah salah satu bentuk pemerintahan di Indonesia sendiri. Lebih khusus lagi, Indonesia adalah negara moderat yang memiliki Pancasila di sila pertama, yang mengatakan "Ketuhanan Yang Maha Esa," tanpa membela agama tertentu. Bagaimanapun, ia berencana untuk menekankan bahwa agama-agama di Indonesia memiliki satu pusat, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Terlepas dari kenyataan bahwa negara sekuler murni tidak boleh mencampuri urusan agama, Kementerian agama Indonesia membedakannya dari negara sekuler lainnya. Keluarga dan masyarakat adalah satu-satunya tempat di mana agama diperbolehkan.

REFERENSI

Isputaminingsih. (2019). Sejarah Islam: Kasus Sekularisme Turki. Jurnal Universitas Sriwijaya, 13-23.

Kasmuri. (2014). Fenomena Sekularisme . Al-A'raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat , 89-102.

Mu'ammar, M. A. (2016). Kritik Terhadap Sekularisasi Turki Telaah Historis Transformasi Turki Usmani. Epistem, 11, 118-148.

Suhandi. (2012). Sekularisasi di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Konsep Kenegaraan. Al-AdYaN, 7, 71-90.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun