PENDAHULUAN
Fiqih yang diharapkan hadir di tengah masyarakat sebagai solusi, ternyata belum sepenuhnya bisa terwujudkan. Kurangnya literasi dan minimnya informasi kerap kali membuat masyarakat kaku akan perbedaan dan perubahan.Â
Misalnya saja, masyarakat akan sulit menerima perbedaan amaliyah yang sebelumnnya belum atau jarang mereka lihat dan temukan. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, di saat umat lain sudah berbicara tentang problematika yang lain, umat islam masih disibukkan dengan kondisi internalnya sendiri.
Sejauh ini, penulis menemukan kajian terdahulu telah banyak berbicara tentang fiqih, sejarah, dan perkembangannya. Fokus kajian cenderung terbagi menjadi dua bagian, pertama, fiqih dan sosial-hukum (pemikiran Sahal Mahfudh).[1] Kajian seputaran ini menguraikan bagaimana pradigma ijtihad fiqih sosial untuk menjawab masalah aktual,[2] demi terwujudnya kemaslahatan umat.
[3] Selanjutnya ada Fiqih Kontemporer (fiqih prioritas Yusuf Qardhawi ).[4] Kajian seputaran ini mengungkapkan bagaimana fiqih prioritas menawarkan skala prioritas dalam berbagai bidang, misalnya ilmu dan pemikiran, fatwa dan dakwah , amal dan sebagainya.Â
Kedua, kajian yang membahas tentang sejarah perkembangan fiqih dari masa nabi hingga imam mujtahid.[5] Sementara itu, kajian yang merefleksi implementasi dan aktualisasi fiqih belum banyak dibahas oleh para akademisi.
 Tulisan ini bertujuan untuk melengkapi kekurangan literatur yang telah disebutkan diatas. Yakni perkembangan fiqih diharapkan tidak hanya mampu menjawab perkembangan zaman (sosial-kultural), tetapi lebih jauh lagi yaitu menjadi sarana kemaslahatan dan kerukunan umat.Â
Dalam tulisan ini setidaknya ada dua pertanyaan yang di ajukan pertama, bagaimana aktualisasi fiqih di masyarakat dan kedua, bagaimana agar penerapan fiqih tidak menjadi masalah, tetapi menjadi wadah kerukunan umat.
 Tulisan ini didasarkan pada argument bahwa, di satu sisi perkembangan dan kemajuan fiqih islam sangat membantu dalam menjawab berbagai macam persoalan terlebih di era sekarang, tetapi perkembangan tersebut belum mampu menjangkau masyarakat secara luas. Melihat kemajuan fiqih dampaknya lebih terasa di bangku-bangku kuliah atau di dunia akademisi.
Argumen kedua adalah arus globalisai dan keterbukan pemerintah dengan dunia luar mengakibatkan informasi, pemikiran begitu mudah berkembang di Indonesia. Sehingga tidak jarang banyak aliran dan pemikiran pada akhirnya bertolak belakang dengan kondisi sosial-kultural masyarakat.
 Dengan demikian, penulis berhipotesis bahwa perlu adanya gerakan dan gebrakan dari pemerintah, para akademisi atau tokoh agama untuk mensosialisasikan fiqih tidak hanya di dunia akademisi/pendidikan tetapi juga pada profesi lain dan tidak hanya di perkotaan tetapi juga sampai pedesaan.Â