Mohon tunggu...
Engelbertus Kastiarto
Engelbertus Kastiarto Mohon Tunggu... -

Urip iku urup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soekarno Berpikir, Maka Pancasila itu Ada

31 Mei 2017   15:23 Diperbarui: 31 Mei 2017   15:27 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih lanjut, bagi  Soekarno,  Pancasila adalah dasar bagi perwujudan sosialisme Indonesia yaitu suatu tatanan  masyarakat yang adil dan makmur. Tatanan itu sendiri memiliki  3 sendi pokok yaitu Keadilan, Kerakyatan dan Kesejahteraan. Maka, Pancasila dengan lima dasarnya merupakan hasil suatu penggalian mendalam  atas jiwa dan kehidupan bangsa Indonesia yang dirumuskan menjadi satu kesatuan bulat sebagai suatu basis bagi persatuan bangsa dan pendirian negara Indonesia yang berbentuk Republik.

Namun,sejarah mencatat justru dalam masa Soekarno,  Pancasila  menjadi seperti pelengkap kehidupan berbangsa dan bernegara saja. Pancasila tidak dianggap sebagai asas tunggal, bahkan Pancasila disintesiskan dengan berbagai ideologi lain sedemikian sehingga Pancasila lalu dianggap sebagai ideologi yangmelegitimasi usaha pemersatuan berbagai kelompok kepentingan. Hal tersebut antara lain nyata dirasakan  lewat konsep Nasakom yang bermakna persatuan antara kelompok masyarakat yang beraliran Nasionalis,  kelompok-kelompok agama dan kelompok  masyarakat yang beraliran Komunis.

 Penulis membatasi sampai disini saja  pembahasan tentang riwayat Pancasila sebab yang ingin ditekankan dalam hal ini adalah gerak pemikiran Soekarno sendiri.

Sejak masih dalam kandungan, kita sudah dilatih untuk menjadi pintar dan diajak untuk memakai akal pikiran kita, terutama agar kita bisa survive  kelak bila sudah dewasa. Pikiran dianggap sebagai inti pribadi seorang manusia. Rasio dianggap sebagai jalan untuk mencapai kebenaran dan sumber jawaban atas segala gejala kehidupan yang selalu menyelubunginya.  Dalam perkembangannya kemudian, ketika beranjak dewasa, pemakaian akal budi justru bisa berpotensi membawa manusia menjauh dari keluhurannya. Karena rasio  justru bisa dipakai sebagai alat bagi manusia guna mencapai tujuan-tujuan keiblisannya seperti bagaimana meraih keuntungan/kemenangan  sebanyak mungkin lewat berbagai tipu daya, pemutarbalikkan fakta, pemakaian sentimen agama demi kepentingan politik dll. . 

Akal budi justru memunculkan dan mempertajam cara pandang  yang dalam sinetron-sinetron intim disebut dengan sebutan antagonis protagonist, Ini adalah akar dari segala konflik antar manusia yang bahkan belakangan ini sering kita rasakan lewat medsos. Maka, akal budi tidak lagi menjadi pembebas manusia dari kebodohan, namun justru menjadi pembelenggu manusia yang lalu melahirkan banyak masalah.  Alhasil, ironisnya kebodohan tetap bercokol. Niscaya,   kejernihan berpikir, diperlukan dalam situasi seperti ini.

Tahun 1933, Soekarno berusia 32 tahun, pada saat itu, bisa dikatakan dia telah melalap banyak buku-buku bermutu terkait Islamisme, Nasionalisme, Marxisme dan berbagai kajian lainnya. Banyak pengajaran yang sudah dia dapatkan dari para guru bangsa seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin hebat dari Sarekat Islam itu. 

Maka, tidak mengherankan bila dalam usia semuda itu, Soekarno telah mampu berpikir dengan tajam, mencerna berbagai inti pemikiran para pemikir besar dunia, menganalisa berbagai segi kehidupan berbagai komponen bangsa Indonesia, memilah-milah berbagai gagasan yang ada dalam benaknya dan lalu merumuskan satu gagasan besar tentang Philosophische Grondslag bagi bangsanya. Niscaya semua memerlukan kejernihan berpikir. Soekarno telah memikirkannya, bahkan 12 tahun sebelum Indonesia merdeka.

 Kita bersyukur, karena Soekarno berpikir (demikian) jernih, bepikir tentang kebajikan, maka Pancasila bisa ada. Sebagai penutup, maka ada baiknya kita renungan kutipan Prof. Sastrapratedja tentang Pancasila dalam kekinian. Beliau menuliskan kalimat yang beliau kutip dari  Ki Hajar Dewantara dan Prof. Notonagoro dalam  kalimat :

“Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginsyafi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal, meliputi seluruh alam  kemanusiaan, yang seluas-luasnya, pula dalam arti kenegaraan pada khususnya”.

Di masa sekarang ini, mari kita maknai kembali Pancasila dan kita amalkan semakin bersungguh-sungguh lagi. Sebab Soekarno dan Jokowi Indonesia, Soekarno dan Jokowi Pancasila. Kalau kamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun