Mendengar ucapan itu, saya ikut menerawang jauh. "Iya ya, dapat dari mana uang buat daftar ulang? Dapat uang dari mana buat bayar SPP?"Â Begitu tanya saya di dalam hati.
Meski begitu, ada sesuatu di dalam diri saya yang mengatakan bahwa ketika sebuah jalan dibuka, saya mesti memasukinya. Kemana jalan itu akan mengarah, itu soal lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan seputar dari mana uang jutaan Rupiah untuk daftar ulang dan bayar SPP tak terjawab saat itu juga. Namun, seiring berlalunya waktu, pertanyaan-pertanyaan itu terjawab juga.
 Tak cuma bantuan yang datang dari mana-mana, tetapi ada saja tawaran-tawaran pekerjaan lepas yang bisa saya kerjakan, termasuk berjualan kopi. Hasilnya, waktu berlalu dan tiba-tiba saja saya lulus, diwisuda.
Dua belas tahun kemudian peristiwa serupa terulang lagi.Â
Kali ini saya berniat untuk mendaftar kuliah S2.Â
Keputusan untuk melanjutkan studi itu datang begitu saja ketika saya mulai jenuh dengan rutinitas pekerjaan yang saya lakoni. Â
Ilmu yang saya dapat dari pekerjaan terasa mentok. Saya butuh sebuah cakrawala yang baru.
Lagi-lagi, pernyataan-pernyataan yang seolah menjatuhkan datang dari orang terdekat. Kali ini datang dari rekan-rekan di pekerjaan. Sebagian dari mereka ragu saya dapat membayar biaya kuliah per semester yang mencapai Rp10 juta di salah satu universitas negeri di Surabaya.
Belum lagi biaya daftar ulang yang sebesar Rp26 juta dan keperluan-keperluan lain seperti buku.Â
Dengan berbagai perhitungan, gaji bulanan dari perusahaan tempat saya bekerja sebagai wartawan tidak akan cukup.