Mohon tunggu...
Eben Haezer
Eben Haezer Mohon Tunggu... Jurnalis -

wartawan -- doyan jalan-jalan -- agak susah makan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Perdamaian di Era Informasi

31 Agustus 2016   11:49 Diperbarui: 31 Agustus 2016   11:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluruh dunia telah memasuki era informasi. Era ini ditandai dengan semakin terbukanya pintu bagi semua orang untuk memproduksi dan mendistribusikan informasi, serta di saat yang bersamaan mengakses dan memanfaatkan berbagai informasi dari luar dirinya untuk setiap kebutuhan dan kepentingan.

Kelahiran era informasi dibidani oleh internet. Tentang internet, Eric Schmidt dan Jared Cohen, dalam karya kolaboratifnya berjudul The New Digital Age: Cakrawala Baru Negara, Bisnis, dan Hidup Kita (2014), mengungkapkan bahwa internet adalah eksperimen terbesar dalam sejarah peradaban manusia yang hadir dengan melibatkan anarki. Setiap saat,  ratusan juta individu menyerap konten digital yang juga sama tak terhitung jumlahnya.  Oleh adanya internet pula, mereka memiliki kemampuan untuk berekspresi dan menggerakkan informasi secara leluasa.

Kemampuan untuk berekspresi, mendapat wadah yang semakin luas oleh muncul dan berkembangnya beragam bentuk media sosial. Di jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Instagram, dan lain sebagainya, hal tersebut bisa disaksikan lewat semakin aktifnya setiap orang melakukan pembaruan status, unjuk foto dan video pribadi, dan menjalin pertemanan-pertemanan baru. Sungguh menyenangkan!

Namun layaknya media-media yang lahir sebelumnya, media sosial tidak melulu membawa dampak positif bagi masyarakat. Jamak kita ketahui, sejumlah konflik dan kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia muncul karena informasi-informasi yang beredar melalui media sosial. Bahkan, konflik yang terjadi di sebuah sekalipun, bisa menimbulkan reaksi yang luar biasa besar di daerah lain yang tak luar biasa jauhnya.

Satu misal, terbakarnya rumah ibadah di Tolikara, Papua, bisa memicu kemarahan hingga reaksi balasan dari kelompok-kelompok di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan daerah-darerah lain. Secara geografis jarak antara daerah-daerah tersebut dengan Papua, sesungguhnya tidaklah dekat. Namun masifnya informasi yang beredar lewat media sosial telah membuat kelompok-kelompok yang bereaksi tadi seakan-akan berada di Tolikara dan ikut merasakan sendiri kepedihan dan kemarahan yang ditimbulkan akibat tragedi tersebut. Reaksi semacam ini, apabila tidak diantisipasi akan berpotensi memicu munculnya konflik yang serpa di daerah-daerah lain.

Konflik antaragama memang menjadi fenomena yang mesti mendapat perhatian serius di era media sosial. Sebab sekecil apapun sebuah konflik, memiliki potensi berkembang menjadi konflik yang lebih besar ketika media sosial justru dipakai oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk menyebarkan propaganda dan informasi-informasi sesat.

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana seharusnya menjawab tantangan tersebut?

Harus kita yakini terlebih dahulu bahwa pada hakikatnya internet dan media sosial hanyalah sebuah alat, sebuah medium. Herbert Marshal McLuhan (1911-1980), seorang pakar media, memiliki sebuah pernyataan yang tersohor: Medium is the Message (media adalah pesan). Melalui pernyataan tesebut, McLuhan hendak mengatakan bahwa setiap teknologi media selalu hadir dengan beragam implikasi. Implikasi itu sendiri, pada dasarnya adalah pesan yang harus diungkap oleh setiap orang agar memiliki kearifan dalam mengonsumsi dan memanfaatkan media.

Dalam kaitannya dengan internet dan media sosial, dengan memahami bahwa keduanya sejatinya merupakan medium dan oleh karenanya juga mengandung implikasi dalam setiap penggunaannya, maka  mestinya sejak awal sudah bisa dilakukan upaya pencegahan terhadap implikasi-implikasi negatif yang mungkin muncul oleh karena kehadirannya.

Tetapi lagi-lagi ini tidak mudah. Di Indonesia, kehadiran teknologi baru kerap kali jauh lebih cepat ketimbang lahirnya regulasi oleh pemerintah. Padahal, regulasi-regulasi yang sanggup mengimbangi lari cepatnya perkembangan teknolgi baru, adalah kebutuhan utama agar pemerintah tidak gagap ketika berhadapan dengan potensi-potensi masalah yang mungkin ditimbulkannya.

Dalam situasi yang demikian, maka satu-satunya harapan kini bertumpu pada masyarakat. Sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi, masyarakat mesti memiliki kemampuan literasi media. Kemampuan ini penting untuk menilai berbagai informasi yang beredar, lalu memfilter dan mengabaikan informasi-informasi yang sesat.

Mencabut Akar Kekerasan

Lantaran internet dan media sosial adalah medium semata, maka pada dasarnya upaya menciptakan hubungan antaragama yang hangat mesti dimulai dari mencabut akar kekerasan. Lagi-lagi, ini bukan upaya yang mudah namun wajib untuk didorong perwujudannya. Upaya ini tidak mudah karena pada dasarnya kekerasan adalah salah satu sifat alamiah manusia. Menurut filsuf Ibnu Khaldun misalnya, manusia pada dasarnya memiliki sifat hewaniah. Dalam itu, ada kecenderungan manusia untuk menggunakan cara-cara “hewan” dalam memperjuangkan tujuannya. Cara-cara ini kerap kali mengesampingkan fakta bahwa pada dasarnya setiap orang juga tidak ingin disakiti, dan yang lemah ingin pula dilindungi.

Meski kekerasan pada dasarnya adalah naturmanusia, namun ini bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Filsuf Thomas Hobbes pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus). Tetapi Hobbes tidak sekaku Ibnu Khaldun. Menurutnya, meski manusia pada dasarnya adalah ancaman bagi manusia lainnya, namun mereka masih memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memperhitungkan kekerasan. Artinya, naluri kekerasan yang dimiliki manusia tidak selamanya dimanifestasikan lewat cara-cara yang spontan. Ada perhitungan-perhitungan untung rugi yang dilakukan sebelum naluri kekerasan itu hendak diwujudkan dalam bentuk aksi.  Termasuk ketika hendak menyampaikan ujaran-ujaran kebencian dan provokasi melalui media sosial.

Kalau demikian, lalu apa yang sebenarnya menjadi akar dari setiap konflik dan kekerasan berlatarbelakang agama?

Menjawab pertanyaan tersebut, saya merasa lebih cocok menggunakan formula yang pernah dicetuskan oleh Amartya Sen. Menurut ekonom dan filsuf yang pernah meraih nobel ekonomi tersebut, kekerasan pada dasarnya terjadi karena kegagalan manusia dalam mengelola identitas.

Menurut Sen, setiap individu terlahir tidak dengan identitas tunggal. Satu misal, seorang pemuda beragama Islam yang lahir dan tumbuh di Bali, praktis menyandang identitas sebagai orang Islam dan sebagai orang Bali. Namun karena Bali merupakan bagian yang tak terpisah dari Indonesia, di saat bersamaan pula dia menyandang identitas sebagai pemuda Indonesia.

Dengan kandungan identitas yang beragam ini, maka ketika si pemuda diperhadapkan pada situasi konflik yang melibatkan kelompok Islam dan kelompok Hindu (yang notabene adalah kelompok mayoritas di Bali), maka dia mesti menentukan identitas apa yang hendak dikedepankannya. Identitasnya sebagai orang Islam? Atau identitas sebagai orang Bali? Atau sebagai orang Indonesia?

Tentunya pilihan-pilihan terhadap identitas yang dikedepankannya dalam situasi tersebut masing-masing akan memiliki implikasi logis.  Apabila dia lebih mengedepankan identitasnya sebagai orang Islam, maka potensi berkembangnya konflik akan menjadi lebih besar. Sementara apabila identitas sebagai orang Bali atau sebagai orang Indonesia yang lebih dikedepankannya, maka tentunya yang berpotensi muncul kemudian adalah terwujudnya rekonsiliasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun mesti dipahami bahwa pilihan untuk mengedepankan satu identitas di atas identitas lainnya, bukan berarti bahwa seseorang mesti menanggalkan identitasnya yang lain.

Dengan pemahaman tersebut, maka untuk mengurai dan mencegah konflik antaragama yang berpotensi tumbuh di era media sosial seperti sekarang ini, setiap orang harus sadar bahwa dirinya menyandang identitas sebagai orang Indonesia. Meskipun dia berasal dari suku Jawa, Batak, Papua, Bali, Sunda, Betawi, Tionghoa, Arab, dan Bugis. Meskipun dia beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, hingga penganut aliran kepercayaan sekalipun, namun identitas sebagai orang Indonesia tetap mesti dikedepankan.

Dengan menumbuhkan kesadaran ini, setiap orang akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk bersikap dalam situasi konflik antarkelompok dan antaragama. Setiap orang akan berpikir ulang sebelum memutuskan untuk menyebarkan propaganda dan kebencian kepada kelompok lain di manapun dan melalui apapun, termasuk melalui media sosial.

Link Facebook : https://www.facebook.com/freakybeee

Link Twitter : https://twitter.com/ebent_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun