()()()
Tragedi pisau dapur itu tak bisa saya lupakan. Itu sebabnya, ketika perintah mencari mie lidi itu disampaikan, saya menerimanya dengan takzim. Tak ingin melalaikannya. Lagipula tidak ada ruginya menjalankannya. Apalagi soal urusan mie lidi saya anggap cetek lah. Dimana-mana pasti ada.
Istri saya sebenarnya tidak terlalu akrab dengan mie lidi. Ia baru mengenalnya setelah menjadi istri seorang Batak norak seperti saya. Beberapa kali kami berkunjung ke rumah kerabat, ia selalu diceritai tentang Mie Gomak, masakan mie khas pelosok Sumatera Utara. Bahan utamanya adalah mie lidi. Sesekali ada juga yang menyuguhkan masakan Mie Gomak itu.
Tapi yang agaknya makin membuat dia desperate menginginkan mie lidi adalah kejadian belum lama ini. Seorang tetangga yang orang Batak memberinya seikat mie lidi. Lama sekali kami memandanginya ketika teronggok di dapur. Saya sudah lama tidak pernah melihat mie lidi dalam bentuknya yang mentah. Dan menyaksikannya lagi saat ini, terkenang juga saya pada lontong sayur semasa Sekolah Dasar dulu. Selain dibubuhi irisan-irisan labu siam berkuah, lontong sayur tempo dulu selalu mantap dengan topping secuil mie lidi. Sangat sporadis sesungguhnya. Kadang-kadang bisa dihitung: antara lima sampai delapan helai. Maklumlah, harganya pun cuma limper (lima perak). Tak disuguhkan di piring, melainkan pada sehelai daun berpincuk. Kalau selagi istirahat (keluar main-main, istilahnya di SD kami dulu), segera kami berlari ke si mbok penjualnya yang duduk menggelesot di belakang tampi tempat dirinya membeberkan jualannya. Kami pun berebut meminta pesanan kami. Lontong sayur itu kami nikmati sampai titik kuahnya yang penghabisan.
Istri saya tentu tak punya nostalgia yang demikian. Ia lahir dan besar di Jakarta. Jajanan masa kecilnya lebih banyak diwarnai oleh nasi uduk, mie ayam dan selendang mayang (hati-hati, ini bukan nama kain, lho…). Yang justru terpikir dalam benaknya dari melihat mie lidi itu adalah ingin mencoba-coba berkreasi membuat Mie Aceh. Naluri memasaknya plus pelajarannya semasa di NHI dulu rupanya memberi keyakinan kepadanya bahwa mie lidi yang besar-besar dan kenyal itu mungkin cocok dimasak ala Mie Aceh. Ketika niat itu ia sampaikan kepada saya, saya sedikit kaget, tapi 100% mendukung. Mie Aceh juga bukan pilihan jelek, karena kami juga penggemar berat Mie Aceh sejak di rumah kontrakan dulu dan diperkenalkan oleh adik yang 'Anak Medan' jebolan USU. Konon jajannya tiap pagi dulu adalam Mie Aceh.
Sayangnya, segera istri saya tersadar bahwa tidak diketahuinya samasekali resep memasak Mie Aceh. Benar-benar tumpul otaknya dalam hal ini. Dulu ketika ibu mertuanya memasak dayok nabinatur, ayam panggang khas Simalungun, ia dengan segera mendapat gambaran tentang resepnya. Dengan tanya sedikit-sedikit, akhirnya jadi juga ayam panggang itu. Tidak beda jauh dari rasa yang asli. Tatkala ia diperkenalkan dengan berbagai masakan Batak pakai kecombrang (sirias, kata orang Batak) –sambel, daun singkong tumbuk, dll—ia juga bisa dengan cepat mencontek resep-resepnya. Tapi Mie Aceh? Ia samasekali tak punya ide.
“Jangan-jangan ada ganja-nya ya…Kok bisa enak dan gurih,” tutur dia, suatu kali. Setiap kami ke lepau Mie Aceh, kami memang melihat adonan khusus yang selalu jadi inti dari bumbu Mie Aceh tersebut. Istri saya pernah bertanya apa saja isi bumbu itu, penjaga lepau hanya tertawa belaka.
Tapi dugaannya tentang adanya kandungan daun berbahaya itu pada Mie Aceh, tentu saya tolak mentah-mentah. Secara logika, kata saya, itu sudah tak mungkin. “Kalau mereka punya ganja, sudah jelas mereka tak mau berdagang mie. Dagang ganja jelas lebih banyak duitnya,” kata saya.
Setelah memutar otak ke sana kemari, akhirnya istri saya punya ide. Ia ingat pada adik sepupunya yang menikah dengan orang Aceh kelahiran Bireun. Dulu keluarga itu tinggal di Jakarta. Tapi untuk penghidupan yang lebih baik, mereka telah pulang kampung ke tanah kelahiran sang suami. Istri saya tak mau menyerah. Ia menelepon adik sepupunya dan bertanya ini-itu tentang bumbu Mie Aceh. Saya mendengar sang adik sepupu dengan tergagap-gagap menjawab dari seberang sana. Dialek bahasa Jakartanya sudah sedikit-sedikit tercampur dengan dialek Bireun. Tapi tak apa. Akhirnya istri saya mendapatkan juga resep Mie Aceh. "Wah, perlu banyak rempah. Soalnya, dia pake kapulaga dan jinten segala," kata istri mengomentari bumbu yang dicatatnya.