Lagi, DJP jadi sorotan. Kali ini oleh KPK, mantan Dirjen Pajak tahun 2002- 2004, Hadi Poernomo, disangkakan telah merugikan negara sebesar Rp375M. Patut kita apresiasi kinerja KPK yang lewat kasus ini telah memberi tanda bagi siapapun bahwa pertanggungjawaban secara hukum itu lintas waktu. Tidak ada yang aman dan dapat langsung cuci tangan begitu lepas jabatan. Tetapi di sisi lain, kita dapat melihat tindakan KPK ini dari sudut pandang yang berbeda, bukan bermaksud apriori atau ingin menyangsikan, namun semata untuk menguji independensi KPK dalam melangkah.
KPK telah menetapkan status Hadi Poernomo sebagai tersangka lantaran telah menerima semua permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk atas Hutang Pajak tahun 1999 di tahun 2003 yang semula oleh tim pembahas diputuskan untuk ditolak. Poin kritis dari kasus ini ada dua, mari kita cermati bersama:
#1 Hadi Poernomo selaku pimpinan berhak mengambil keputusan final atas satu permohonan yang dalam hal ini kemudian menjadi tanda tanya karena perubahan itu diputuskan sehari sebelum batas akhir tindak lanjut permohonan sehingga tidak sempat lagi ditelaah ulang oleh tim pembahas. Perubahan yang dilakukan menjelang saat- saat terakhir ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai indikasi "abuse of power" yang menguntungkan diri pribadi Hadi Poernomo melalui kick back pihak terkait. Terlebih bahwa dengan menerima seluruh permohonan itu maka negara mengalami kerugian.
#2 Kasus ini sudah sangat lama, lebih dari 1 dekade lamanya. Tetapi mengapa baru sekarang diangkat? Setidaknya itu yang menjadi pertanyaan kaum wigata yang terheran- heran atas pemberitaan ini. Ada momentum yang seolah menjadi punch line kebingungan banyak pihak. Yaitu mengapa penetapannya disaat yang disangkakan sudah bebas dari semua jabatan? Dan mengapa kasus ini diangkat disaat Hadi Poernomo, baru- baru ini gencar mengungkap kerugian negara atas kasus mega korupsi seperti Hambalang dan Century?
Tugas Berat KPK
Melalui asumsi bahwa Hadi Poernomo telah merugikan negara, maka PR besar KPK adalah mencari bukti kuat bahwa sang mantan dirjen telah menerima aliran dana dari pihak/pengurus PT BCA Tbk sehubungan telah diterimanya permohinan keberatan tersebut (kick back). Hanya bermodal aduan masyarakat yang mengalami penolakan permohonan keberatan pajak atas materi yang sama dengan yang diajukan PT BCA Tbk kala itu, tidak bisa menjadikan KPK terus maju. KPK harus fokus pada aksi mencari bukti atas kasus yang disangkakan. Buktikan perbuatan itu salah. Dan jangan seret masyarakat pada drama yang membuyarkan masalah yang sebenarnya.
Disaat yang sama, kita harus memandang seorang Hadi Poernomo sebagai warga negara yang berhak membela diri menurut prosedur hukum. Ini yang perlu kita hargai bahwa dengan prinsip praduga tak bersalah, maka sebelum terbukti, maka tak seorang pun boleh dihukum. Bila KPK gagal membuktikan itu, maka status Hadi Poernomo tidak lebih hanya sebatas terduga dipaksakan untuk jadi tersangka, dan untuk itu, maka di pengadilan lah vonis akhir (verdict) akan diputuskan. Mari kita ikuti proses hukum yang berjalan dengan komitmen teguh bahwa KPK dan Hadi Poernomo adalah subjek hukum yang berhak menyampaikan materi masing- masing.
Tugas KPK itu menjadi kian berat manakala publik semakin pintar membaca silang sengkarut situasi politik dalam negeri. Ada aroma politis yang tercium dibalik penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka, praktik saling sandera kasus sudah jadi rahasia publik. KPK harus mampu menjawab semua prasangka ini agar tidak dicap hanya sebagai alat invisible hands yang mengatur dari balik layar. KPK adalah benteng terakhir harapan masyarakat akan pemerintahan yang bersih tanpa intervensi.
DJP Digoyang Media Partisan
Tak pelak, kasus usang ini kembali menggoyang DJP. Bombardir media beberapa hari terakhir ini dengan mudah mengungkit kembali amarah publik saat kasus Gayus mengemuka. Padahal kasus yang kini di angkat KPK adalah kasus yang sudah sangat lama yang terjadi sebelum kasus Gayus. Tapi, sebagaimana media, seperti biasa, melalui pemberitaan yang terasa kurang berimbang, telah membuat sebagian publik kembali beropini bahwa ada kasus baru di Ditjen Pajak.
Ragam dialog yang live digelar stasiun TV pun digelar dengan judul yang sangat menikam DJP. "Memberantas Tikus Pajak", "Membasmi Mafia Pajak" dan lain- lain. Tak tampak upaya nyata media untuk membuka wawasan publik bahwa DJP tengah dengan susah payah berbenah diri. Tak terlihat peran edukatif media untuk membimbing masyarakat bahwa kasus yang terbaru ini hanya kasus lama yang baru diangkat. Hasilnya? Seolah- olah DJP tidak pernah berbenah. Seolah- olah semua petugas pajak korup. Itu sangat disayangkan.
Media ternyata masih dengan gaya yang sama, menyuguhi cerita tanpa harapan, minus komitmen menuju perbaikan. Masyarakat dikondisikan untuk siaga 1 terhadap petugas pajak. Media lupa bahwa dengan pola seperti itu mereka telah menambah panjang deretan dosa terhadap puluhan ribu petugas pajak yang bekerja dengan baik. Media seharusnya memberitakan secara imbang agar tercipta situasi yang kondusif dan mendidik. Termasuk dalam kasus Hadi Poernomo ini, media dapat mengundang pihak internal DJP untuk memberi klarifikasi bukan cuma narasumber yang vokal menyampaikan amarah dan prasangka.
DJP memang tak pernah lepas dari sorotan. Kita semua menunggu hasil akhir kasus yang menyorot DJP kali ini. Besar harapan sekiranya kebenaran dengan sebenar- benarnya dapat terungkap. Agar semua tahu bahwa kebenaran itu mutlak bagi siapapun tanpa bisa ditawar, termasuk bagi seorang Hadi Poernomo sang tersangka, juga bagi selurub rakyat Indonesia melalui sepak terjang KPK.
Erikson Wijaya
Kepulauan Bangka Belitung
Sabtu. 26 April 2014. 21:39
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H