Kita semua dibentuk dalam satu wadah Pramuka untuk ada dalam rasa Brotherhood dan Sisterhood yang merasa senasib dan seperjuangan dalam mengatasi berbagai masalah saat mengikuti kegiatan perkemahan di luar kota sejak dulu. Kami telah dijadikan satu keluarga besar yang erat berkat kegiatan ke-Pramukaan tersebut.
Semua ilmu yang telah kita terima dari pembina atau senior kita, ternyata sangat bermanfaat setelah kita menjadi dewasa dan harus hidup di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.Â
Pramuka telah membuat diri kita semua menjadi tangguh dalam menghadapi beratnya tantangan kehidupan dan krisis multi dimensi yang saat ini terjadi di tengah masyarakat kita.
Bagaimana dengan sekarang?
Jujur, sekarang saya menjadi tidak menyukai kegiatan kepramukaan karena ada beberapa hal yang sepertinya menurut pendapat saya pribadi, kegiatan Pramuka sudah terasa berbeda dari apa yang dicetuskan awal oleh Bapak Pandu sedunia, Lord Baden Powell.
Ada nuansa bahwa kegiatan Pramuka sudah 'tergiring' untuk berbagai kepentingan yang berbau politis dan sifat serta program yang ditawarkan sudah tidak menarik lagi bagi khususnya kaum generasi Milenial atau Gen Z.
Tidak heran, Mas Nadiem, menurut dugaan saya, juga mencium adanya aroma tersebut.Â
Oleh karena itu, Pramuka dikembalikan lagi sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa gerakan Pramuka bersifat mandiri, sukarela dan non-politis. Sejalan dengan hal tersebut, akhirnya Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 mengatur dan mengembalikan lagi bahwa keikutsertaan murid di sekolah dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk Pramuka, harus bersifat sukarela.
Saat ini, kita semua hanya bisa menunggu datangnya bulan Juli 2024, dan dari momen itu akan diketahui, seberapa banyak anak didik yang bersukarela mengikuti ekstrakurikuler Pramuka di setiap sekolah setelah dinyatakan sebagai ekstrakurikuler Pramuka tidak wajib lagi.