Baca Juga  :  Mengenal Tujuh Sahabat R.A. Kartini dalam Buku "Door Duisternis Tot Licht"
Program kegiatan Pramuka di sekolah yang tidak terjadwal dengan baik mulai dari program maupun pada pelaksanaan kegiatan yang semata berfokus pada pelatihan kekuatan fisik dan mengesampingkan program pengembangan bagaimana berfikir kritis dan logis pada anak-anak Pramuka menjadikan kegiatan pramuka semakin stagnan dan mandul.
Juga, ada kesan bahwa para mereka yang menjadi pembina kegiatan ekstrakurikuler Pramuka, sama sekali tidak memahami secara detail tentang kepramukaan itu sendiri. Mereka juga merasa terpaksa hanya menjalankan tugas dinas atau ditunjuk.
Faktor Eksternal juga bisa membuat kegiatan Pramuka menjadi kurang diminati. Pengaruh perubahan informasi secara global sehingga semua negara menjadi borderless membuat budaya, bahasa, way of life, pola pikir, gaya hidup, entertainment seperti online gaming dan karakter asing saling bebas diakses tanpa adanya filter oleh para generasi muda di setiap negara berbeda dimana pun berada.
Apakah saya menyukai kegiatan Pramuka?
Ini yang lumayan sulit juga untuk menjawabnya. Bisa jadi perasaan saya ini juga mewakili Gen XÂ seperti saya ini bila ada di antara mereka.
Di tahun 1973 sampai dengan 1985, sewaktu bersekolah dan dibesarkan di Kota Surabaya, saya sangat menyukai kegiatan Pramuka. Saat itu, kegiatan Pramuka bukanlah menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah.
Bahkan, tidak semua sekolah mempunyai Gugus Depan atau GuDep sebagai induk kegiatan di setiap lembaga pendidikan. Uniknya, GuDep tersebut, bisa dimiliki oleh sekelompok masyarakat, perusahaan swasta atau instansi pemerintah dan saat ini, klausa yang terakhir itu sudah sangat langka ditemukan.
Dari mulai siaga sampai dengan menjadi penegak, hampir setiap hari Minggu sore saya habiskan demi mengikuti kegiatan Pramuka karena sangat mengasyikkan dan bisa menjadi wahana untuk membentuk karakter diri dan melatih leadership.