Namaku terpanggil untuk masuk ruangan hampa udara
Hanya ada suara ketukan dan derit pintu yang terdengar
Jantungku berdegup kencang saat duduk di kursi yang membara
Seolah menghadap empat dewa  yang sedang menatapku tajam.
Dua dari mereka meneliti lembaran nasibku di tangannya
Satu lagi menimbang kelebihan dan kekurangan perjalanan hidupku.
Dewa yang terakhir menguji dan memujiku dengan kalimat yang ambigu
Pasrah menyerahkan nasibku pada para dewa di depanku.
Penolakan dan kegagalan selalu bersamaku setiap bertemu dengan mereka
Mengadu nasib tanpa ilmu dan pengetahuan di dunia nyata
Semua kemalasan yang telah memanjakanku dengan kebodohan abadi
Hanya berharap pada empat dewa itu meskipun penuh janji palsu.
Baca Juga : Pak Kadirin dan Malam Lebaran
Tersentak aku sadar bahwa mereka bukanlah dewa atau malaikat maut
Berani menentukan baik atau buruknya akan nasib diriku
Aku adalah aku dan kamu semua bukanlah dewa yang sebenarnya.
Cahaya terang memasuki rongga jiwaku untuk memilih nasibku sendiri.
Kutinggalkan ruangan hampa itu tanpa ada rasa penyesalan
Dengan mengutuk empat dewa yang mengaku sempurna di hadapanku
Bersandiwara dengan tawaran-tawaran gila yang akan menjebakku
Segera kuayunkan kakiku untuk menemui para dewa lain di langitnya.
Puisi ditulis untuk Kompasiana.com
Magetan, 16 April 2024
Baca Juga : Ketika Aku Bertemu Diriku
Baca Juga : Jiwa Tak Bersayap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H