"Tolong hargai saya juga yang tidak berpuasa nih! Jangan Anda saja yang berpuasa dan minta dihormati di bulan Ramadan ini!"
Jika kita mencermati kalimat di atas dalam discourse analyses, ada dua pertanyaan yang kemungkinan muncul, yaitu apakah ada makna ekspresi dari satu bentuk intoleransi pada satu bentuk aktivitas yang dilakukan orang lain?
Untuk menjawabnya, hal pertama yang perlu diperhatikan adalah pada narasi kalimat yang diletakan pada konteks kalimatnya pada situasi apa? Bila, saat Ramadan, discourse (kalimat dalam percakapan) di atas itu termasuk Pseudo Tolerance.
Apakah Pseudo Toleransi itu?
Bila diterjemahkan bebas, kata 'pseudo' itu berarti 'terlihat nyata tapi abal-abal'. Meskipun tidak bisa dikatakan benar-benar 'palsu', pseudo tetap perlu diwaspadai sebagai bentuk kepura-puraan dan bisa menjadi bom waktu terjadinya konflik vertikal dan horizontal di kehidupan bermasyarakat.
Secara garis besar, pseudo toleransi, itu adalah bentuk intoleransi pada diri seseorang. Mereka pura-pura tampil toleran dalam lisannya, namun hati, pikiran dan perilakunya bertindak sebaliknya secara sembunyi-sembunyi.
Padahal makna sejati dari toleransi itu sendiri adalah sifat atau sikap seseorang dalam kemampuan untuk membiarkan, menenggang rasa, memperbolehkan pada pendirian, pendapat, perbuatan, kebiasaan dan lainnya yang dilakukan oleh orang lain meskipun hal itu bertentangan dengan pendirian pada dirinya sendiri.
Jadi ada penggalan kalimat, 'Tolong hargai saya juga yang tidak berpuasa ini....'. Narasi yang ditebak dari kalimat tersebut bermakna meminta hak untuk diberi kelonggaran, kebebasan atau toleransi. Bila konteksnya ada di bulan Ramadan, hal itu juga sah-sah dan patut dihargai oleh orang lain yang sedang berpuasa, meskipun dirinya juga harus dihormati oleh orang yang tidak berpuasa..
"Silakan tutup tirai tempat makan Anda agar tidak terlihat frontal dan vulgar aktivitas Anda bagi mereka yang sedang melaksanakan ibadah puasa!".Â
Kalimat berikutnya dalam discourse, temntu saja akan bisa ditebak dan normatif juga dan diucapkan oleh banyak orang yang berbeda. Kegiatan yang terjadi seperti ini, disebut sebagai bentuk toleransi bermasyarakat yang majemuk di negara tercinta kita ini.
Namun bila dua induk kalimat dan anak kalimat di kalimat kutipan paling atas (quote) sebagai contoh discourse digabungkan menjadi satu, jusatru menimbulkan akan menjadikan pseudo toleransi, yang bermakna 'berpura-pura' memberikan toleransi yang sejatinya di dalam pikirannya jauh berbeda.
Apalagi jika diperparah dengan konteks ada aktivitas makan di depan orang yang sedang berpuasa di satu tempat umum sekalipun. Bisa ditebak, bahwa konflik fisik akan terjadi gara-gara adanya pseudo toleransi seperti hal di atas karena bagi orang yang berpuasa, mereka juga ingin dihargai oleh orang yang tidak berpuasa.
Bagaimana mengatasi pseudo toleransi di diri kita?
Ada beberapa faktor yang bisa menghilangkan sifat pseudo toleransi dalam diri kita agar sikap penerimaan kita murni tidak ada unsur kebencian atau ketidaksukaan saat berinteraksi di tengah masyarakat yang majemuk.
- Kesadaran Individu yang tinggi bahwa manusia di muka bumi ini terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa. Perbedaan adat, budaya, way of life, bahasa, keyakinan dan juga agama serta beragam bentuk fisik, warna kulit atau fisiologinya, janganlah dijadikan sebagai pembenaran sikap dan sifat intoleransi dalam diri kita masing-masing.
- Level Pendidikan juga menjadikan faktor utama yang menentukan agar sikap intoleransi dalam diri kita bisa terkikis atau bahkan bisa hilang.
- Pemerataan akses informasi di masyarakat haruslah transparasi tanpa adanya unsur melindungi atau berpihak pada kelompok mayoritas sehingga kepercayaan publik bersama menjadi taruhannya.
- Solusi bersama dalam mengambil keputusan atas banyaknya permasalahan yang muncul dengan azaz musyawarah dan manfaat bersama semua lapisan masyarakat.
- Kepastian perlindungan hukum, bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan jaminan keselamatan dirinya dalam hidup bermasyarakat.
Pseudo Toleransi Beragama yang Intoleran Cenderung Rawan Konflik.
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa terkadang banyak konflik sosial di masyarakat kita yang disebabkan adanya kelemahan diri dalam memahami makna toleransi beragama. Bagaimana menghormati dan menghargai agama yang dianut oleh setiap individu hanya dilisankan saja, sedangkan hati, pikiran dan tindakan akan berjalan berbeda jauh. (Pseudo tolerance).
Seperti yang disampaikan dalam surat Al-Qur'an, Surat Al-Kafirun, ayat keenam "Lakum dinukum waliyadin", yang artinya 'Bagiku agamaku dan bagimu agamamu". D situ sudah dijelaskan secara gamblang bahwa umat muslim pun juga tahu bahwa mereka diwajibkan untuk menghormati agama dan keyakinan yang dianut oleh orang lain.
Jadi di bulan Ramadan yang penuh Rahmat, Ampunan dan Pembebasan dari api neraka ini, toleransi dalam seluruh lapisan kehidupan bermasyarakat perlu ditegaskan sekali lagi bahwa semua orang bebas untuk bersosialisasi, namun tidak diperbolehkan mencampuradukkan syariat peribadatan agama islam dengan agama lain atau sebaliknya.
Apabila semua itu bisa dijalankan dengan penuh kesadaran diri, keikhlasan, dan tanggung jawab, di situlah akan ditemukan makna toleransi yang sesungguhnya dalam kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan beragama di tanah air Indonesia tercinta ini bisa terwujud langgeng.
Artikel ditulis untuk Kompasiana.com pada Ramadan bercerita 2024
Ramadan bercerita 2024 hari 21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H