"Gaji yang kita terima setiap bulan, itu sudah cukup untuk bisa hidup, namun tidak akan mencukupi untuk gaya hidup kita"
Rasanya, kalimat di atas yang sering kita dengarkan baik secara lisan maupun tertulis itu bisa jadi ada benarnya juga. Bahkan, ada satu sahabat yang berbisik bahwa bila ingin mengikuti "gaya hidup", janganlah mengandalkan gaji, melainkan harus ada penghasilan lainnya.
Untuk sesaat, tercenung juga pikiran ini dengan ucapannya. Mengapa demikian? Okay, bisa jadi bila gaji, pastilah itu sah dan halal menurut peraturan hukum dan norma yang berlaku, tapi bila "penghasilan", bisa dimaknai tambahan pemasukan yang halal atau bisa juga haram tergantung dari cara mendapatkannya.
Semua itu tak lain dan tak bukan demi memenuhi gaya hidup kita yang terkadang besar pasak daripada tiangnya alias hidup dalam pemborosan dalam hal pengeluaran keuangan atas dasar gaji yang diterima.
Baca Juga : Barang Terbaik Sekaligus Terburuk yang Dibeli di Tahun 2023.
Di awal tahun 2024 ini, tidak ada salahnya bagi saya untuk kembali pada masa 35 tahun yang lalu dan merenungi perjalanan hidup di saat mulai untuk belajar hidup mandiri dan lepas dari bantuan ekonomi orangtua setelah mendapat pekerjaan.
Semenjak bekerja sebagai guru honorer di tahun 1989 dan akhirnya menjadi pegawai negeri tetap di tahun 1992, secara praktiknya, saya sudah melepaskan diri menjadi tanggungan orangtua.
Hebatnya, meskipun dengan gaji yang sedikit atau terhitung kecil di masa itu dibandingkan dengan gaji dari profesi lainnya, saya mampu untuk mengedepankan gaya hidup sederhana atau istilahnya disebut Frugal Living.
Pada saat awal hidup berumah tangga, saya sudah mampu membeli rumah melalui KPR BTN di meskipun dengan cara mencicil hampir 50% dengan tempo 10 tahun dari gaji yang saya terima. Sedangkan sisanya untuk memenuhi kebutuhan hidup selama satu bulan bersama anak dan istri.
Terkadang, untuk memenuhi kebutuhan itu, saya harus mengajar di sekolah swasta di sore harinya dan memberikan tambahan pelajaran atau les privat untuk murid yang membutuhkan pada malam harinya.
Baca Juga : Nabung Bersama Pacar,Spekulasi Berani atauInvestasi Ceroboh?
Sepertinya, ada gaya hidup sederhana terencana pada diri ini sejak dulu meskipun semua itu TIDAK direncanakan dan telah ditulis akan kebutuhan apa saja yang harus diprioritaskan. Oleh karena itu, tidak heran, saya masih mampu membeli rumah lagi untuk investasi di masa depan.
Bagaimana dengan masa sekarang yang menerima gaji plus tunjangan profesi guru yang besar?
Nah, di sini letak keanehannya. Semenjak tahun 2007, Pemerintah memberikan tunjangan sertifikasi guru sebesar satu pokok gaji sebagai Pegawai Negeri Sipil secara otomatis, penghasilan menjadi besar dan berlipat, tapi mengapa saat ini, saya tidak bisa mempunyai tabungan dan pengeluaran saya menjadi lebih besar serta hidup menjadi lebih boros?
Mau tidak mau, fenomena itu membuat saya menjadi harus introspeksi akan cara saya mengelola keuangan dari gaji yang saya terima. Apakah gaya hidup saya berubah? Ataukah kebutuhan hidup saat ini memang menjadi lebih besar?
Baca Juga : Tahu Wacana Single Salary dan Golden Shakehand, Masihkah Berminat Jadi PNS?
Ternyata memang harus diakui bahwa hal pertama adalah adanya perilaku dalam diri ini yang berubah karena menjadi lalai akan perencanaan dalam mengelola neraca pemasukan dan pengeluaran karena berbagai faktor.
Faktor Pertama adalah Pengeluaran tak terduga karena force majeur (keterpaksaan) seperti saat harus membiayai orangtua yang menderita sakit kanker. Juga, menyelesaikan kasus hutang piutang orangtua yang jatuh tempo atau membiayai biaya kuliah adik-adik yang belum mampu mandiri.
Semua pengeluaran di atas, mau tidak mau, telah mengacaukan tabungan keuangan yang sudah kita tata dengan baik untuk bekal di masa depan saat menjelang tua, atau pensiun semata untuk memenuhi satu bentuk "tanggung jawab" dalam keluarga besar.
Faktor Kedua adalah Pengeluaran terduga tapi tak direncanakan, seperti membeli barang yang terkadang kita tidak tahu manfaatnya. Bisa juga karena tertarik dengan iklan menggiurkan yang ada di online shop sehingga membuat kita hidup dalam barang-barang konsumtif yang ber-branded demi kesan gengsi ke orang lain.
Kasus di atas telah mengubah perilaku kita yang dulunya Shopalogic menjadi Shopaholic tanpa mempertimbangkan bahwa kemampuan keuangan diri kita dan juga barang yang kita beli itu sebagai satu kebutuhan atau hanya keinginan untuk dimiliki.
Faktor Ketiga yaitu pengeluaran wajib (obligation) seperti pembayaran pajak kendaraan, pajak rumah, pembayaran hipotek, PDAM, PLN, Biaya kuliah anak dan Biaya lainnya seperti kebutuhan hidup dalam satu bulan.
Semua pengeluaran di atas itu adalah pasti dan saat kita tidak mengatur atau mulai menyiapkannya, pastilah akan menggunakan dana simpanan dan hal inilah awal dari kekacauan keuangan kita sendiri.
Solusinya bagaimana?
Pertama, sudah saatnya diperlukan adanya literasi keuangan, yaitu bagaimana kita dan tidak perlu malu, untuk melakukan gaya hidup frugal living atau hidup sederhana yang terencana dengan melakukan kebijakan keuangan secara ketat dengan disiplin keras agar neraca pemasukan lebih besar daripada pengeluaran.
Kedua, hindari adanya pinjaman yang tidak perlu untuk membeli barang-barang sekunder yang tidak dibutuhkan dengan mengabaikan "rasa gengsi" demi gaya hidup hedonisme duniawi agar dipandang hebat oleh orang lain.
Ketiga, lakukan konseling atau konsultasi perihal pengaturan keuangan pada konsultan keuangan tentang bagaimana mengelola penghasilan kita dengan mengedepankan skala prioritas kebutuhan atau jenis investasi apa yang tepat pada kemampuan keuangan kita.
***
Disadari atau tidak, konsep hidup sederhana itu pastilah sudah dipahami oleh semua orang namun teori hidup sederhana itu memang tidak semudah dalam praktiknya. Juga, terkadang dalam memenuhi kebutuhan hidup kita ini tidaklah melulu berhitung ala Matematika di mana nominal uang masuk harus lebih besar daripada uang keluar dan harus cukup semua kebutuhan pokok.
Sekarang tinggal kembali pada diri kita sendiri,kapan mau memulainya?, Bisa disiplinkah kita? Punya tekad yang kuat apa tidak? Bila abai, slogan hidup sederhana yang terencana itu hanya akan menjadi wacana indah di telinga kita semua.
Magetan, 2 Februari 2024
Artikel ditulis untuk Kompasiana.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H