Saat berebut makanan antara aku dan adik adikku di masa kecil, jatah makanan ibu selalu dibagikan kepada kami semua dengan alasan beliau masih kenyang. Saat menjelang tidur, kami mengeluh capai karena habis bermain, ibu segera memijat satu persatu badan kami tanpa kami sadari bahwa beliau sebenarnya juga lebih lelah daripada kami semua.
Setelah kami semua anak-anaknya telah bekerja dan pulang untuk menjenguk, beliau akan menolak bila kami tinggali uang untuk pegangan dengan alasan masih punya dari uang pensiun ayah yang tidak seberapa. Namun, ternyata di belakang, beliau lebih memilih berhutang pada tetangga kanan kiri daripada menerima uang dari anak-anaknya.
Akhirnya, sebagai anak, kami pun harus menutup dan melunasi hutang ibu karena sudah diluar kemampuan beliau untuk membayar begitu jatuh temponya.Â
"Ibu tidak mau merepotkan kamu semua! Biarlah hidup ibumu yang sudah tua ini menjadi tanggung jawab ibu sendiri. Hiduplah bahagia kamu semua dengan keluargamu!"
Sungguh sesak hati di dada ini bila mengingat kalimat beliau tersebut. Juga, beliau selalu menolak untuk diajak tinggal dengan anak-anaknya. Beliau lebih memilih tinggal di desa di rumah peninggalan nenek selepas pindah dari kota Surabaya karena tidak mau jadi beban anak-anaknya.
Saat kami menjenguk karena mendengar ibu sedang sakit, beliau juga tidak mau diajak untuk periksa ke dokter dan selalu beralasan bahwa dia sehat saja, hanya sakit biasa karena faktor fisik tua menjelang masuk usia 80 tahun.
Itulah beberapa kebohongan dari ibuku pada kami semua anak-anaknya. Begitu besarnya bentuk kasih sayang ibunda sampai kami tidak menyadarinya sampai usia dewasa ini. Belum sempat kami membahagiakan beliau, ternyata penyakit jantung lemahnya keburu membawanya terbaring sakit dengan kondisi tidak sadar.
Aku berjanji untuk selanjutnya akan membahagiakannya selepas keluar dari rumah sakit nanti. Kuakui, kesibukan pekerjaan diri mengejar materi duniawi telah membuat kami anak-anaknya jarang dan abai untuk menemui dan menemaninya di desa.Â
"Maafkan, kesalahan anak-anakmu ini yang telah mengabaikan dan tidak pandai merawatmu di masa tuamu, bu! ". Kalimat yang meluncur lirih dari bibirku dengan rasa penuh penyesalan diri.
Tiba-tiba. ada tangan yang memegang dadaku dan menggoyangkan tubuhku juga. Begitu aku terbangun dan mataku terbuka setengah sadar, kulihat ada beberapa perawat dan dokter yang berkata pelan namun bagiku itu adalah suara petir yang menyambar.Â
"Maafkan bapak, Ibunda Anda telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang menjelang Adzan subuh tadi!".