Mencermati beberapa kasus adanya perilaku aneh dari anak didik yang membangkang dan bahkan beran menantangi dengan para guru di sekolah baru-baru ini di tanah air membuat para stakeholder di dunia pendidikan prihatin dan berusaha untuk mencari ujung pangkal faktor pemicunya.
Saya sendiri sebagai seorang guru juga selalu mengamati penyimpangan pada perilaku anak didik. Bahkan, dari kasus per kasus kenakalan murid yang terjadi di sekolah adalah bentuk akumulasi pola pikir anak didik yang terkontaminasi oleh banyak faktor eksternal yang menjadi penyebabnya.
Mengapa pembahasan ini perlu diketahui oleh semua stakeholder pendidikan?
Seperti yang sudah disebut di atas, saya sering menemukan anak didik yang sedang kecanduan bermain online game pada android-nya. Mereka tidak peduli dengan jam pelajaran sekali pun, baik ada guru pengajarnya atau tidak, jemarinya tetap saja memainkan tuts tuts game di keyboard handphone-nya.
Saya sering menegur dengan halus dan menyita androidnya saat pembelajaran berlangsung, namun menjadi jengkel saat kalimat dan arahan saya sebagai guru agar fokus pada materi pelajaran diindahkan bahkan parahnya terkadang berani membantah baik secara verbal atau non verbal.
Bisa dipastikan salah satu kasus di atas juga pernah dialami oleh banya para bapak dan ibu guru di semua jenjang atau tingkatan sekolah di seluruh tanah air.
Sungguh bisa dirasakan beratnya menjadi guru yang tidak hanya mengajar anak didik di era milenial, tetapi juga harus mendidiknya.
Kenapa anak-anak kecanduan bermain online game dan siapa yang patut disalahkan?
Jujur, saya sebagai pribadi, guru dan orang tua dari dua anak yang keduanya ternyata juga maniak online game. Alih-alih saya marahi, justru kegemaran mereka saya kontrol, fasilitasi, dijadwalkan dan tetap diawasi. Lucunya, anak yang pertama tadi, ASN di Kemenkeu, ternyata juga salah satu anggota dari team gamer tingkat nasional.
Anehnya lagi, anak yang kedua, cewek, justru mengulas fenomena game online pada para remaja dengan berbagai dampak positif negatifnya untuk skripsi jenjang S-1 nya di Universitas Gajahmada, Yogyakarta.
Saya menyadari, banyak orangtua yang demi menjaga anaknya tidak rewel sejak kecil, mereka sudah diizinkan bermain game di android orang tuanya.Â
"Cara mendidik seperti itulah yang dianggap sebagai satu kesalahan awal dalam proses mendidik anak"
Dampaknya, otak anak sejak kecil sudah dipenuhi dengan Dopamin yang bila berlebihan akan menjadi penyebab perilaku mengapa anak menjadi kecanduan bermain online game.
Seperti yang dilansir dari Kompas.com, 8 Januari 2022, bahwa dopamin di dalam darah yang dipompa ke dalam otak, akan menimbulkan efek bahagia, senang dan riang gembira. Namun, apabila berlebihan justru menimbulkan dampak buruk secara fisik maupun psikis.
Dampak buruk secara fisik, mereka akan merasa mual, sering sakit migrain, sulit tidur, jantung lemah, kram otot (cedutan), sering berkeringat dingin dan tensi mata bertambah.
Sedangkan dampak buruk secara psikis, emosi anak menjadi tidak stabil, stres, tidak peduli, sering cemas, suka membangkang, sering berhalusinasi, abai lingkungan sosial, lupa waktu, komunikasi verbal buruk, sensitif dan menjadi egois.
Suatu kegiatan yang dilakukan karena diniati, diminati, menyenangkan, menarik dan sulit dihentikan seperti olahraga, bermain online game, perilaku seksual, kegiatan outdoor dan lainnya, itu pasti akan memicu banyak dopamin ke dalam otak manusia yang memberikan sensasi "bahagia".
Bila sulit dicegah, itulah yang sering kita sebut dengan "kecanduan" gegara terlalu banyak dopamin di dalam otak manusia khususnya pada anak atau para murid.
Coba saja, saat ada anak kecil bermain game di androidnya, kemudian kita sita dan diminta berhenti bermain, seketika akan muncul "Tantrum", yaitu ekspresi perilaku kekecewaan yang ditunjukkan dengan menangis meraung-raung, berguling di lantai atau tanah dan bahkan bersifat destruktif, yaitu menyerang atau mengancam orang lain di sekitarnya.
Secara tidak langsung, ulasan di atas telah menjawab, mengapa anak didik sulit berhenti bermain online game termasuk saat berada di dalam kelas di jam pelajaran sekolah.Â
Bila ditegur, mereka akan berani melawan guru karena telah dianggap sebagai gangguan pada aliran hormon dopamin di dalam otak mereka.
Solusinya bagaimana?
Sebetulnya dopamin itu juga zat yang dibutuhkan oleh tubuh kita agar sehat dan terhindar dari depresi.Â
Seperti hormon adrenalin saat kita berolahraga, hormon feromon saat kita jatuh cinta atau merasa takut dan banyak hal lainnya. Semua hormon itu akan menjadi "jahat" pada diri kita secara fisik dan psikis bila sudah berlebihan dalam tubuh kita.
Sejujurnya juga, saya suka dengan anak yang bermain game online. Mereka pastilah anak cerdas dan itu pernah saya ulas pada artikel lain.Â
Hanya saja, peranan orang tua sebagai kontrol agar anak mereka bisa mengatur waktu kapan boleh bermain game, harus belajar, bersekolah, beribadah, beristirahat, berolahraga dan hal lainnya adalah solusi yang terbaik.
Bila kerjasama orang tua murid di rumah dan guru di sekolah terjadi harmonis secara misi dan visi dalam mendidik anak-anak, niscaya kasus perilaku, karakter dan sifat murid yang di luar adab dan menyimpang dalam menuntut ilmu di dunia pendidikan akan semakin berkurang.
Purworejo, 18 November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H