Dalam keheningan kelas di saat kegiatan belajar mengajar, tiba-tiba masuklah serombongan guru yang bertugas dan tergabung dalam tim ketertiban sekolah untuk merazia kerapian atribut seragam sekolah pada murid dari kelas per kelas.
Seperti sudah diperkirakan, berdasarkan pemantauan sebelumnya, banyak diketemukan berbagai pelanggaran dalam aturan seragam dan khusus murid cowok, justru banyak yang kena razia pada rambut mereka.
Meskipun merasa terpaksa, beberapa rambut siswa yang dianggap "gondrong", harus merelakan dipotong oleh guru dalam gugus Kamtib di satu sekolah tersebut.
"Murid nakal? Dicukur gundul saja biar kapok!"
Semua pasti pernah mendengar kalimat di atas yang berimplikasi pada satu bentuk provokasi bagi pihak lain agar memotong rambut murid yang dikategorikan "nakal" atau tidak disiplin.
Anehnya, meskipun tidak termasuk kategori murid yang nakal, hanya karena punya rambut gondrong atau panjang, juga berimbas pada pengguntingan tak teratur pada rambut mereka.
Saya yakin bahwa murid yang terazia cukur rambutnya, pasti mengomel, tidak terima, marah kecewa atau bentuk ekspresi lainnya. Hanya saja, semua perasaan itu dipendam dalam hati mereka.
Menyimak adanya berita kasus penggundulan masal murid yang tidak disiplin di SMPN 1 Maniis, Purwakarta Jawa Barat oleh Babinsa dari Koramil, telah memicu protes para orangtua dan wali murid yang tidak terima dan merasa perlakuan itu BUKAN sebagai bentuk dalam ranah "mendidik" para murid.
Ingat, kasus ini bukan hanya terjadi pada murid cowok saja, melainkan juga pada murid putri di salah satu sekolah di Lamongan. Mereka juga dicukur oleh guru putri hanya karena tidak memakai ciput (lapisan dalam hijab).
Setelah terjadi protes para orangtua, Guru putri tersebut, akhirnya dinonaktifkan dan tidak boleh lagi mengajar meskipun niatnya dianggap baik, tapi tindakannya dalam konteks kurikulum merdeka belajar ini dianggap salah.
Mengapa siswa tidak boleh berambut gondrong atau panjang selama dalam proses menjalani pendidikan?
Dari banyak pengalaman saya saat mengunjungi dan juga pernah mengajar berbagai sekolah di banyak negara di dunia seperti Jepang, Korea Selatan, Australia. negara-negara di ASEAN, dan Eropa, sebetulnya rambut murid-murid di sana juga tidak gondrong.
Jangan berkaca dari drama Korea Selatan atau Jepang yang ditampilkan adanya rambut siswa yang gondrong serta dicat warna-warni. Pahamilah bahwa itu hanya ada dalam cerita film, dan tidak mewakili situasi nyata yang sebenarnya di sekolah di sana.
Bahkan rata-rata, dibanding lembaga pendidikan semi militer seperti sekolah kedinasan seperti SMA Taruna Magelang, IPDN atau pendidikan militer pun di seluruh dunia, ukuran panjang rambut murid, taruna atau kadetnya, sangat ketat dibatasi dan rutin diperiksa.
Alasannya sangat bervariasi namun pada intinya, mereka semua saat menjadi pelajar harus berdisiplin dan fokus pada proses pembelajaran serta penguasaan materi pelajaran dibanding hanya sering bersolek dan mengatur rambut mereka selama di kelas.
Juga, alasan kesehatan pada zaman dulu, rambut di kepala para murid yang gondrong dan tidak tertata, dipenuhi banyak kutu rambut dan ketombe yang menyembabkan gatal serta koreng di kulit kepala.
Apakah pemotongan rambut pada anak didik yang tidak disiplin bisa mengatasi masalah kenakalan anak sekolah?
Jawaban dari pertanyaan di atas, jelas sangat subjektif tergantung dari setiap diri kita sebagai pribadi atau individu karena, selama ini belum pernah dilakukan penelitian lapangan atau riset yang sangkil dan sahih tentang studi korelasi antara pencukuran rambut terhadap prestasi, perilaku dan kenakalan pada anak didik.
Semua hanya bermain asumsi saja yang seolah-olah pasti bisa mengatasi substansi masalah korelasi pada anak yang berambut gondrong dengan tingkat kenakalannya.
Tidak heran, dalam kehidupan masyarakat kita, banyak kasus pada mereka yang tertangkap dan diduga telah melakukan kejahatan, langsung saja rambut dikepalanya dicukur plontos.
Masih ingatkah kasus anak didik dalam kegiatan pramuka yang tenggelam di sungai gara-gara program susur sungai pada tahun 2020 lalu? Mereka para guru yang menjadi pembina pramukanya dan dianggap bertanggung jawab juga digunduli.
Herannya, perlakuan itu berbeda pada pejabat atau aparat hukum yang tertangkap karena dugaan korupsi atau kejahatan lainnya. Mengapa mereka tidak ikut digunduli juga? Aneh, kan!?
Pengaruh dari teori akan Power dan Ideology yang menjadi kajian sebagai tugas akhir saya selama kuliah di Universitas Nagasaki tahun 2000, ternyata bisa dikembangkan pada aspek apapun yang berhubungan dengan permasalahan dalam atau di luar pendidikan.
Coba perhatikan, gara-gara pengaruh power iklan sabun, white cream atau lainnya mempengaruhi pikiran kita bahwa kulit putih bersih itu lebih cantik, sehat dan menarik, maka semua berlomba mati-matian untuk memutihkan kulit.
Dalam kisah drama atau film, kita juga terjebak pada pemikiran bahwa mereka yang berambut gondrong, pasti akan dijadikan tokoh antagonis atau penjahatnya, kan? Karena memang diideologikan seperti itu pada pikiran kita.
Solusinya bagaimana dalam proses razia cukur rambut anak didik ini?
Pertama. Setiap lembaga pendidikan pasti mempunyai aturan tentang seragam dan termasuk klausa rambut di dalamnya. Bila ada pelanggaran, semestinya ada peringatan sampai 3 kali sebelum ditindak.
Panggil orangtua mereka, beri penjelasan bahwa di sekolah, ada toleransi panjang rambut yang diizinkan. Misalnya, tidak boleh sampai menutup mata, telinga atau kerah baju seragam.
Beri kesempatan pada murid yang berambut panjang untuk merapikannya. Namun, bila tidak ditaati, pihak Kamtib sekolah, berhak melakukan pemotongan rambut pada murid dengan catatan, orangtua atau wali murid telah menanda tangani aturan yang tertulis dari sekolah sebagai bentuk dukungan.
Kedua. Pihak lain, dalam hal ini orang di luar sekolah, entah polisi atau babinsa sekalipun, tidak berhak untuk melakukan penggundulan rambut murid di sekolah yang dianggap nakal atau tidak disiplin dengan dalih apapun.
Kenakalan yang terjadi pada anak didik harus dicermati oleh semua pihak apakah sebagai kenakalan anak pada usianya, atau memang sudah menjurus pada tindak kriminalitas
Semua harus duduk bersama untuk mengurai akar permasalahan dan bukannya bertindak menggunduli rambut mereka. Hal itu justru tidak akan menyelesaikan substansi kenakalan mereka.
Ketiga. Guru yang masuk pada tim ketertiban sekolah, seyogyanya juga melengkapi atribut seragam dan kerapian rambut mereka terlebih dahulu sebelum melakukan razia cukur rambut atau aturan seragam pada muridnya.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa rambut adalah mahkota manusia. Saat itu dirampas paksa, harga dirinya akan hilang dan justru akan menumbuhkan perasaan dendam.
Di era Kurikulum Merdeka ini dengan slogan merdeka belajarnya, tuntutan bapak dan ibu guru semakin berat dalam menanamkan etos spirit of learning pada diri anak didik agar bisa menemukan potensi diri, sikap, dan keterampilannya sebagai bekal life skill mereka kelak dibanding hanya mengurusi masalah rambut.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H