Mohon tunggu...
Eko Adri Wahyudiono
Eko Adri Wahyudiono Mohon Tunggu... Guru - ASN Kemendikbud Ristek

Mengajar dan mendidik semua anak bangsa. Hobi : Traveling, tenis, renang, gitar, bersepeda, nonton film, baca semua genre buku, menulis artikel dan novel.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Manusiawikah Meletakan Nasib Guru Honorer dalam Marketplace?

31 Juli 2023   12:23 Diperbarui: 31 Juli 2023   19:52 1499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar adanya istilah Marketplace bagi guru honorer, sedikit banyak telah membuat stakeholders pendidikan negeri ini ikut beropini dalam dua kubu, yaitu mereka yang Pro dan Kontra.

Usulan Mas Nadiem Makarim tersebut dianggap sebagai solusi untuk honorer khususnya dari kalangan guru agar ada perubahan nasib melalui peningkatan penghasilan yang layak berdasarkan kualifikasi kemampuan dan keterampilan akademis dan non akademis yang dimiliki setiap guru .

Harapan dari Mendikbud Ristek kita itu, dengan adanya aplikasi Lokapasar (Marketplace) guru yang rencananya diluncurkan pada tahun 2024 bisa mengangkat harkat dan martabat guru secara materiil maupun moril sebagai satu profesi yang (seharusnya) dihormati di masyarakat kita.

Akan tetapi, benarkah bahwa Marketplace sebagai wadah yang berisi database guru atau calon guru yang pernah mengikuti seleksi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui Pegawai Pemerintah dengan PerjanjIan Kerja (PPPK) dan dinyatakan lolos, termasuk yang sudah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan namun belum mendapatkan formasi, secara otomatis adalah solusi yang solutif?

Juga, Manusiawikah meletakan nasib guru honorer di dalam Marketplace guru?

Begini, saya yakin, saat masyarakat mendengar kata asing " Marketplace", imajinasi mereka langsung tergambar seperti adanya aktivitas jual beli barang, kualitas, harga, spesifikasi, orisinalitas, testimoni para pembeli dan dibayar lewat transfer atau COD (Cash On Delivery).

Masak sih, profesi guru dianggap seperti komoditas dagangan demi tujuan finansial atau secara ekonomi semata?  

Saya yakin, bukan gambaran seperti itu saat seseorang telah memutuskan untuk memilih profesi guru sebagai pekerjaannya.

Pasti ada tujuan lain selain kepuasaan besarnya penghasilan yang diterima, yaitu mengajarkan ilmu pada anak didik sebagai generasi penerus bangsa dan juga mendidik mereka untuk mempunyai karakter, kepribadian dan aqlak sesuai norma dan agama untuk hidup di masyarakat.

Itulah mengapa, saat ini masih banyak sekali bapak dan ibu guru yang meskipun dibayar sangat rendah bahkan di bawah rata-rata UMR (Upah Minimum Regional), mereka tetap mau dan mampu bertahan untuk menjadi pahlawan tanpa tanda jasa demi terjaganya marwah dunia pendidikan negeri.

Saya mencoba menempatkan diri saya menjadi Pak Nadiem Makarim dan berusaha untuk mengeksplor masuk ke dalam pikiran beliau dengan adanya ide tentang wacana Marketplace tersebut dan berusaha berpikir positif akan akan tujuan mulianya.

Dinarasikan bahwa bila ada Marketplace guru, pihak sekolah bisa langsung merekrut mereka setelah melihat kompetensi dan prestasi capaiannya tanpa menunggu dari pusat sesuai kebutuhan saat itu juga.

Semudah itukah? Bagaimana dengan gajinya? Siapa yang menanggung? Apakah otomatis menjadi ASN?  Tentu saja hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan pada pembahasan selanjutnya. Ditakutkan, semua itu hanya akan indah pada teorinya tapi sulit pada implementasinya.

Guru yang sudah berstatus pegawai negeri (ASN) pun secara implisit, sebenarnya juga sudah ter-marketplace-kan. Database individu guru sudah ada dalam aplikasi E-Master, SIMPeg, SIM PKB, PaDaMu NeGeRi, dan Dapodik serta aplikasi lainnya.

Semua prestasi, jenjang pendidikan, riwayat penugasan, pangkat, tugas tambahan dan piagam penghargaan serta sertifikat DikLat (Pendidikan dan latihan) yang diikutinya telah tertuang secara lengkap dan rinci di dalamnya.

Tetapi mengapa data tersebut (hampir) tidak juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan akan peningkatan karir ke jenjang mereka berikutnya?

Masalahnya di mana?

Jujur, sebenarnya permasalahan utamanya terletak pada manajemen pengelolaan Sumber Daya Manuasia (SDM). Harusnya, analisa kebutuhan pegawai, analisa jabatan, dan analisa tujuan untuk jangka pendek, menengah dan panjang dalam dunia pendidikan menjadi proritas utama oleh semua pihak pembuat kebijakan.

Dikawatirkan bila terjadi adanya ketidakpastian pada kelayakan penghasilan sebagai pengganti bentuk penghargaan guru honorer sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu diabaikan, kelak dunia pendidikan kita akan kekurangan guru yang berkualitas. 

Generasi muda yang saat ini rata-rata cerdas, pandai, kreatif dan hebat berprestasi dimungkinkan akan ragu dan gamang untuk memiliki cita-cita menjadi guru.

Bisa jadi profesi itu tetap dianggap sebagai satu profesi mulia namun sayangnya semakin tidak diminati di masa mendatang karena rendahnya penghargaan secara status dan penghasilan.

Salam

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun