Hiruk pikuk pendaftaran peserta didik baru (PPDB) 2023 yang secara resmi sudah ditutup pekan lalu ternyata masih saja meninggalkan keruwetan dan kekecewaan bagi mereka yang belum bisa mendapatkan sekolah yang menjadi idamannya.
Saat ini, para peserta didik yang sudah diterima di sekolah pilihannya harus melakukan daftar ulang. Sedangkan yang masih belum terdaftar di sekolah manapun, masih harus ditata dan diproses untuk penempatan sekolahnya sampai dengan tanggal 31 Agustus 2023.
Beberapa media online di banyak kota di tanah air, pasca PPDB 2023 ini sering memberitakan tentang keluhan masyarakat yang menganggap bahwa penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi perlu dikaji ulang kembali di tahun mendatang.
Sebelum membahas lebih mendalam, mari kita flashback (mundur ke belakang) dalam kurun satu dekade dan mengingat berbagai sistem penerimaan siswa atau murid baru di sekolah yang pernah digunakan.
Anehnya, semua sistem yang pernah digunakan, dianggap tidak adil dan tepat oleh masyarakat.
Coba diingat lagi saat masuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan harus menggunakan Nilai Ebtanas Murni (NEM), betapa gaduhnya masyarakat karena harus cabut berkas pendaftaran dan pindah ke sekolah sana sini agar anaknya bisa diterima.
Ujian Nasional dianggap sebagai tidak adil pada anak didik karena hanya diuji antara 3 sampai 4 mata pelajaran sebagai syarat kelulusan.
Sistem NEM itu dianggap tidak efektif dan membuat anak didik menjadi stress karena harus "belajar" giat, bahkan terkadang ada yang berani curang untuk mendapatkan nilai tinggi demi bisa masuk ke sekolah favorit.
Kemudian ada sistem PPDB dengan hybrid, yaitu persentase nilai gabungan antara NEM dan Tes Tertulis yang digelar oleh sekolah unggulan tertentu demi mendapatkan input siswa yang berkualitas dan terbaik dalam bidang akademik dan nonakademik.
Lagi-lagi, sistem hybrid itu banyak mendapat protes karena dianggap mengada-ada.Â
Bagaimana tidak, hasil NEM-nya tinggi, tetapi tidak diterima karena hasil tes tulisnya rendah. Dampaknya, di institusi pendidikan yang menggunakan tes tulis sebagai alat ukur tetap dianggap tidak valid dan reliable.
Bagaimana dengan PPDB sistem Zonasi?
Sistem PPDB yang pertama kali digulirkan oleh Bapak Muhadjir Effendy selaku Mendiknas saat itu, mengubah sistem seleksi masuk sekolah dengan mengedepankan hampir mencapai 80% berdasarkan zonasi atau tempat tinggal anak didik berdasarkan jarak tempuh dengan sekolah terdekat.Â
Sedangkan yang 20% sisanya dibagi antara jalur afirmasi dan hasil prestasi nilai raport.
Sekali lagi banyak orangtua yang merasa kecewa memprotes sistem tersebut karena anak yang ingin melanjutkan di sekolah "favorit" harapan mereka harus menjadi kandas terhalang adanya rayonisasi wilayah zonasi tempat tinggalnya.
Juga, yang masuk diterima berdasarkan nilai tinggi pada rata-rata raport muridnya, ternyata juga banyak dari sekolah dengan akreditasi rendah.Â
Hal ini memicu kebingungan semua pihak, benarkah nilai 95 per mata pelajaran di raport itu adalah refleksi sejati penguasaan materi pada anak didik?
Dampaknya, sistem zonasi mengalami revisi klausa aturan pada tahun-tahun berikutnya dengan menurunkan persentase pagu dari 80% ke 50% untuk zonasi, 30% untuk prestasi raport dan 20% untuk afirmasi.
Adakah celah dari aturan PPDB sistem zonasi setelah direvisi?
Untuk membahasnya, kita harus membuat batasan bahwa hasil dari argumentasi ini bila mengetahui celah sistem itu nantinya bisa dianggap sebagai suatu kecurangan, tetapi bagi pihak lain itu sah-sah saja karena bisa jadi merupakan langkah yang cerdas untuk mencari strategi dalam mencari celah yang positif.
Pertama, Jalur Afirmasi, yaitu jalur bagi mereka yang mempunyai piagam kejuaraan dalam bidang akademis maupun nonakademis seperti olahraga.Â
Juga, jalur pindahan orang tua sebagai ASN atau TNI serta instansi terkait lainnya. Jalur inklusi, bagi mereka yang berkebutuhan khusus, dan terakhir Pemegang kartu Indonesia pintar (KIP) yang dibuktikan dengan surat keterangan atau dokumen asli.
Dari jalur afirmasi tersebut, pastikan selama di SD/MI, SMP/MTs, anak didik untuk mendapatkan piagam apa pun dari bidang yang menjadi minat dan talentanya. Utamanya dari kegiatan OSN, O2SN, FL2SN, atau Lomba berjenjang dan bertingkat yang diadakan secara resmi oleh dinas pendidikan setempat.
Termasuk juga kegiatan nonakademis seperti olahraga apa pun juga harus mengetahui kepala dinas pendidikan dan KONI sebagai induk organisasi olahraga setempat pada piagam kejuaraannya.
Jadi, untuk celahnya, pastikan sekali lagi untuk mempunyai sertifikat atau piagam kejuaraan tersebut dengan poin tertinggi sebagai juara, minimal juara 3 di tingkat kabupaten.
Kedua, Jalur Prestasi Raport. Pada jalur ini, ada kesempatan 30% dari pagu daya tampung yang ditentukan untuk peserta didik baru yang akan diterima di setiap sekolah di mana jumlah pagunya berbeda-beda dan itu tergantung dari kondisi sekolah masing-masing.
Di tahap kedua ini, yaitu bebas zonasi, artinya, berdomisili jauh sekalipun dari sekolah yang diinginkan, pasti bisa diterima dengan syarat hasil rata-rata raportnya tinggi.Â
Juga perhatikan nilai akreditasi sekolah asal, karena itu akan menjadi salah satu perhitungan dalam persentase penilaian untuk diterima di sekolah tersebut.
Faktor ketiga di tahap kedua ini adalah adanya index sekolah yang sudah dirumuskan oleh aturan, yang poin persentasenya dihitung lebih tinggi dari pada akreditasi sekolah asal.
Jadi jangan heran, bila sebagai contoh, ada calon murid yang mendaftar dengan mempunyai rata-rata raportnya tertulis 93, 56, ternyata tidak diterima dan masih kalah dengan mereka yang rata-rata raportnya 92, 00 atau 91,65. Itu semua karena adanya persentase pembobotan seperti yang dijelaskan di atas.
Proses penghitungan itu semata demi menghindari kecurangan yang mungkin terjadi. Terkadang, ada sekolah yang demi muridnya banyak diterima di sekolah favorit, rata-rata raport semua muridnya dibuat 96,00 ke atas.Â
"Hal itu jelas aneh dan di luar nalar bahwa benarkah nilai itu sudah mewakili kemampuan murid akan penguasaan materi pelajaran?"
Ketiga, Jalur Zonasi, yaitu jalur penerimaan murid baru dari mereka yang berdomisili terdekat dengan sekolah yang diinginkan karena dianggap favorit dan sekolah terbaik di daerah atau kota setempat.
Kuota dari pagu sebesar 50% daya tampung peserta didik baru menciptakan kesempatan atau bisa dianggap "celah" untuk bisa diterima karena dasar syarat diterimanya hanya dari Kartu Keluarga (KK).
Celahnya di mana?
Begini, saat pertama kali sistem PPDB diluncurkan, ada 80% dari kuota pagu jumlah murid yang diterima dengan beberapa kecamatan dalam sistem bisa terakumulasi sehingga murid yang diterima pun, domisilinya bisa mencapai radius hampir 10 kilometer dari sekolah tujuan yang diinginkan.
Setelah itu, tahun berikutnya kuota zonasi diturunkan menjadi 50% untuk pagunya, sehingga tingkat perebutan untuk diterima menjadi sengit dengan jarak terjauh maksimal 2,5 kilometer bagi mereka yang resmi telah diterima.Â
Sedangkan untuk tahun ini, dengan jarak 1,3 kilometer saja sudah merupakan titik domisili terjauh dari sekolah bagi pendaftar yang telah diterima.
Kok bisa demikian?Â
Hal itu karena banyak orangtua murid yang telah memindahkan domisili anak mereka dengan "menitipkannya" pada Kartu Keluarga (KK) sodara, sahabat, teman bahkan orang yang tidak dikenalnya dengan iming-iming tertentu di alamat yang paling dekat dengan sekolah yang akan dituju.
Karena syarat masa berlakunya Kartu Keluarga itu harus satu tahun, maka banyak yang memindahkan KK anaknya saat masih 2 tahun sebelum mereka dinyatakan lulus. Tidak peduli tertulis sebagai anak kandung (AK), anak angkat (AA) atau Anak Titipan, yang penting itu semua sah menurut peraturan yang ditetapkan.
Jika mau mencermati, jumlah warga per RT dan RW yang ada di lingkungan sekolah yang dianggap favorit di setiap kota, pasti mengalami ledakan jumlah penduduknya dan anehnya, bukan karena kelahiran melainkan adanya perpindahan warga.
Jika ada yang heran, mengapa ada murid yang berdomisil atau rumahnya jauh, tetapi bisa diterima di sekolah yang jauh dari alamatnya, itu karena anak tersebut berada di Kartu Keluarga di salah satu keluarga yang berdekatan dengan sekolah tersebut lebih dari satu tahun lamanya.
Dari ulasan di atas, ada beberapa hal yang bisa dijadikan kesimpulan:
Pertama, beberapa orang menyebutnya curang bila ada celah dalam aturan sistem PPDB, tetapi bagi yang lainnya, itu adalah celah yang sah dan dianggap sebagai satu strategi cerdas yang patut diapresiasi.
Kedua, setiap sistem PPDB dengan model apa pun, tetaplah ada kelebihan maupun kekurangannya. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek, haruslah terus melalukan evaluasi dan revisi pada aturan sistem PPDB setiap tahunnya untuk meminimalkan permasalahan yang muncul dan menbuat gaduh di masyarakat.
Ketiga, dari ketiga jalur yang sudah ditentukan di atas, orangtua, guru dan murid haruslah berstrategi dengan membekali dengan syarat yang ditentukan dari setiap jalur PPDB agar bisa menembus dan membantu anak didiknya untuk diterima di sekolah favorit yang diinginkannya.
Salam
Catatan Pasca PPDB 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H