Duduk sendirian di teras rumah orang setelah berbagai acara di hari lebaran, sambil mengamati lalu lalang kendaran di jalan depan rumah, ada flashback kenangan masa kecil yang tiba-tiba muncul di pikiran ini.
Sejak kecil sampai remaja, saya tinggal dengan orang tua di Kota Surabaya. Namun, setiap liburan sekolah, entah mengapa, ibu selalu mengirim saya ke rumah nenek di Madiun.
Lama-kelaman, tanpa disuruh pun, saya dengan senang hati liburan sendiri dengan naik bus umum saat ada di bangku SMP. Lucunya, teman-teman di Surabaya juga ikut karena penasaran dengan suasana desa yang terhampar hijau oleh tanaman padi.
Jalanan tak beraspal dan cenderung berlumpur pekat bila musim hujan menjadi keunikan tersendiri. Belum adanya listrik dan deru kendaraan membuat suasana menjadi syahdu. Tidak heran, bila malam hari, banyak kunang-kunang (firefly) yang beterbangan di halaman rumah.
Setiap pagi, saya dengan beberapa teman se desa, ikut menggembalakan kerbau dan sesekali memandikanya di kedung atau sungai desa. Setiap rumah saat itu pasti punya satu ekor kerbau sebagai simbol Raja kaya (kekayaan).
Tidak salah jika nama desa saya adalah Kedung Banteng, yaitu tempat di mana banyak kerbau yang berendam di kedung (Sungai).
Bila musim hujan deras, justru itu momen yang kami tunggu bersama. Tanpa dikomando, kami semua berlarian ke lapangan dekat rumah untuk bermain sepakbola di lapangan rumput yang tergenang air hujan.
Herannya, kami semua juga tidak terjangkit sakit flu atau demam setelah berhujan ria berjam-jam. Hanya ada canda riang dan kebahagiaan sejati di masa kecil.
Bila sore hari di cuaca cerah, kami semua juga pergi ke lapangan atau bukit untuk bermain layangan aduan. Benang khusus dengan dilapisi lem dan bubuk halus kaca adalah senjata andalan di musim itu.
Jika bisa mengalahkan layanyan lawan dengan membuat benangnya putus karena gesekan merupakan kebanggaan dan satu keterampilan yang disegani oleh semua teman masa kecil. Semua menjunjung sportivitas pertandingan dan saling tulus memberikan apresiasi.
Bagaimana dengan tradisi dan keadaan sekarang?
Semua itu sudah berubah saat ini. Jalanan tanah di desa di depan rumah yang dulu sering saya bermain, sekarang sudah diaspal. Kendaraan yang lewat membuat rumah bergetar, suara bising dan polusi udara.
Lapangan desa tempat kami bermain sudah berubah fungsi menjadi ruko (rumah toko) berjajar dan membuat pemandangan buruk dengan banyak sampah plastik di berbagai sudutnya.
Kita sudah tidak bermain layangan lagi karena jaringan kabel listrik berseliweran tak teratur di sepanjang jalan. Ditambah lagi, permainan game online di android lebih menarik perhatian anak kecil di masa sekarang.
Sungai yang berupa kedung, saat ini sudah berkurang debit airnya dan terlihat keruh karena sumber air di hulu yang menipis akibat dari penggundulan hutan. Juga, tidak saya temukan seekor punvadanya kerbau yang dipelihara untuk ternak oleh warga desa.
Air kotor yang tercemar limbah olahan rumah tangga, juga telah membunuh kunang-kunang sebagai tempat berkembang biaknya.
Hamparan padi di pematang sawah di kanan kiri jalan, saat ini sudah tertutup atau berubah dengan adanya bangunan rumah hunian akibat ledakan populasi penduduk. Beberapa area bahkan sudah menjadi lokasi bangunan pabrik dan jalan Tol.
Sambil menghela nafas, sekarang saya hanya mampu melihat semua hal yang dirindukan dari kampung halaman melalui imajinasi yang masih melekat kuat di pikiran ini. Pemandangan indah desa rasanya sudah langka di zaman sekarang ini.
Meskipun ingin banyak bercerita banyak, terpaksa artikel ini harus segera saya sudahi karena ada Gunawan beserta istri dan anaknya, teman bermain di masa kecil yang terlihat memasuki halaman rumah orang tua saya untuk bersilaturahmi.
Dengan wajahnya yang hitam legam dan penuh keriput di kulit wajahnya, dia menyapa saya dan tersenyum. Terlihat semua giginya sudah hampir habis dan berwarna hitam.
Tubuhnya yang kurus, terlihat gontai saat mendekati ke teras tempat saya berada. Sungguh, Sahabat saya tadi terlihat lebih tua secara fisik daripada usia yang sesungguhnya.
Ada pertanyaan yang bergelayut di dada, apakah hidup di desa saat ini tidak memberikan kedamaian, kebahagiaan atau ketentraman? Who knows?
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H