"Fabi ayyi aala'i Rabbikuma tukadziban", yang artinya Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan? (QS Ar Rahman ayat 10-13).
Memasuki sepuluh hari kedua yang penuh ampunan di bulan Ramadan ini, alhamdulillah jiwa dan raga kita rasanya semakin fit dan sehat karena manfaat tersembunyi lainnya dari ibadah puasa bagi tubuh adalah detoksinasi.
Itu adalah pengeluaran racun di dalam tubuh secara alami akibat banyak zat berbahaya dari luar yang masuk dalam tubuh dan mengembalikan fungsi organ tubuh pada kondisi semula. Ibarat komputer, kita di-reset lagi sistem kerja tubuh kita agar semakin prima.
Termasuk juga jiwa yang kembali menjadi bersih dari sifat iri, dengki, marah, jahat, malas, kikir, tamak dan masih banyak lagi. Semua itu berkat bulan suci ramadan yang penuh berkah ini.
Dalam Surat Ar Rahman, Kalimat "Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?", itu diulang sampai 31 kali. Itu artinya jika kita tidak pandai dalam mensyukuri nikmat Allah SWT, maka kita akan termasuk pada golongan orang yang merugi.
Dalam duduk bertafakur selepas salat duhur, dengan suasana mendung yang menurunkan hujan gerimis, saya mencoba untuk mengingat kembali nostalgia masa kecil saat bulan ramadan di komplek militer di Surabaya
Ayah adalah seorang militer dan sering berpindah tugas keliling nusantara, sehingga masa kecil sampai remaja, saya habiskan di komplek perumahan milik Komando Daerah Militer V (Kodam) Brawijaya di Surabaya.
Kehidupan keluarga militer yang saya terima, sangatlah keras dan itu membuat saya menjadi lebih disiplin.Â
Rentang tahun 1972 sampai dengan 1986, itu adalah nostalgia terindah masa kecil saya yang tidak bisa dibandingkan dengan masa remaja anak milenial saat ini.
Mengapa demikian?
Bayangkan saja, pada era itu, saat menjalankan ibadah puasa wajib, karena tidak adanya atau minimnya media elektronik sebagai sumber informasi, waktu sahur dan berbuka sangatlah tidak akurat.
Hal yang menyedihkan, dampaknya saya jadi jarang sahur karena sering terbangun saat mendengar suara adzan subuh dari masjid asrama militer.
Pada masa itu, tidak semua orang mampu untuk mempunyai jam tangan karena harganya sangat mahal.Â
Televisi juga hanya ada satu di aula komplek perumahan dan itupun masih dwiwarna, yaitu hitam putih. Parahnya, Â Televisi tersebut ada dalam kotak penyimpanan dan selalu dikunci.
Jika mau menonton, saya harus ikut berjubel dengan puluhan orang lainnya sambil menunggu petugas pembawa kunci datang untuk menyalakannya.Â
Kita harus super sabar hanya untuk menunggu munculnya tulisan "sudah adzan magrib" dari televisi masa itu tanpa ada lantunan suaranya.
Jika petugas tidak datang, terpaksa setiap berbuka puasa, saya memilih untuk menunggu tanda adanya suara dentuman meriam dari Masjid Ampel Surabaya.Â
Juga dari menjelang sahur, telinga ini harus menempel di radio di rumah untuk berjaga bahwa sudah masuk imsak.
Saya sering mengetahui pahala apa saja yang berhubungan dengan topik ramadan serta hal-hal yang bisa membatalkan puasa dari tausiyah dengan model tanya jawab atas surat yang dibacakan oleh penyiar.
Bagaimana dengan salat taraweh?
Di komplek perumahan militer, banyak musala dan masjid, namun untuk salat taraweh berjamaah, semua keluarga militer harus pergi ke satu masjid besar dan itu bertempat di dalam markas Kodam V Brawijaya, Surabaya.
Sedihnya, karena tinggal di komplek militer, untuk keluar masuknya, harus laporan kepada petugas yang berjaga piket di pintu gerbang. Gara-gara hal itu, Saya jarang punya teman. Semua teman yang saya punya rata-rata adalah anaknya tentara.
Ramadan di masa kecil saya tidak mengenal apa itu yang namanya ngabuburit, yaitu berjalan-jalan waktu sore sambil menunggu waktu berbuka tiba. Justru, pada waktu selepas ashar, saya harus giat untuk belajar mengaji di mushala sampai menjelang berbuka
Nah, mau tahu ngabuburitnya pukul berapa pada masa itu?
Setelah makan sahur dan selanjutnya salat subuh, kami semua akan berjalan-jalan di lapangan Kodam V Brawijaya yang sangat luas sambil menyalakan bondet (Mercon banting) untuk menggoda gadis-gadis yang lewat.
Bahagianya pada masa itu, Saat bulan Ramadan, semua jenjang sekolah di Indonesia libur total selama 35 hari ( 1 bulan) dan masuk sekolah lagi setelah sepekan berlebaran.
Bila anak milenial yang saat ini jadi murid saya mengetahui hal ini, mereka pasti akan merasa iri dan menuntut agar punya hak yang sama dengan masa remaja saya.
Semua nostalgia Ramadan masa kecil itu selalu saya syukuri karena saya masih bisa diberi nikmat hidup sampai di era yang modern ini berkat selalu Ingat akan ayat "Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?" dalam Surat Ar Rahman.
Salam Ramadan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H