Saat lisan terucap 'Marhabhan ya Ramadhan!' dan pikiran 'mengiyakan', namun hati 'merintih' sedih saat 'tindakan' dalam menyambutnya masih penuh kebimbangan.
Apakah Ramadhan kali ini, saya akan termasuk pada mereka yang menjadi salah satu pemenangnya? Sudahkah ikhlas menjalankan kewajiban ibadah puasa selama 30 hari? Adakah buruk perilaku 'sama' yang saya kerjakan antara sebelum dan selama bulan Ramadhan?
Sejujurnya masih banyak pertanyaan dalam hati dan berusaha mencari jawaban serta pencerahan diri untuk perenungan agar sisa hidup ini tidak berjalan habis dalam kesia-siaan.
Kita yakini bersama bahwa ibadah puasa wajib bagi orang yang beriman. Itu berlaku bagi mereka orang yang beragama islam, kristen, katolik atau agama lain. Namun, bulan Ramadhan, berlaku bagi mereka umat islam yang beriman.
Sedangkan, mereka yang memeluk agama selain islam, berapa lama mereka berpuasa, pada bulan apa mereka melakukannya adalah ibadah mereka masing-masing.
Kita hanya saling menghormati satu sama lain dan itu sudah tercantum dalam Surat Al Kafiruun, ayat ke-6 : Lakum diinukum walliyadin, yaitu bagimu agamamu, bagiku agamaku.
Mengapa terkadang saya merasa tidak yakin menjadi pemenang setelah menjalani ibadah puasa selama 30 hari di bulan Ramadhan?
Pertama, selama berpuasa, saya merasa takut bahwa puasa saya untuk menahan lapar dan dahaga dari sebelum subuh sampai matahari terbenam, tidak akan ada amalan pahala yang mengalir pada diri ini.
Itu semua karena saya hanya fokus pada perasaan takut badan menjadi kurus. Fisik menjadi lemah karena saya merasa kelaparan dan kehausan sampai melupakan makna sejati dari berpuasa itu sendiri.
Kedua. Ada hawa nafsu serakah pada jiwa ini dan sulit untuk mengontrolnya. Berapa banyak uang dan dana yang harus dihabiskan hanya untuk menimbun bahan makanan dan pakaian demi terlihat sebagai pemenang.
Mengapa saya menjadi lebih boros selama bulan Ramadhan dan itu artinya, saya masihlah berada dalam golongan orang yang kalah. Nafsu duniawi masih bertengger di perilaku diri sehari-hari.
Ketiga. Saya memang sedang berpuasa, namun banyak perbuatan saya yang tidak ikut di dalamnya. Mungkin ada perilaku korupsi, manipulasi dan kolusi yang saya lakukan di bawah alam sadar karena kebiasaan sebelumnya.
Perilaku berkata bohong, membual, menghina, menggunjing atau berpikiran iri, dengki serta berprasangka buruk pada orang lain, sahabat, anak, adik, kakak, istri, orang tua atau pada murid ditakutkan akan menghilangkan ganjaran dari ibadah puasa ini.
Keempat. Kebingungan dalam memanfaatkan dan mengatur waktu. Malam lailatur qadar, harusnya berburu malam ampunan, justru disita untuk berburu berbagai diskon di mall. Momen untuk mengaji atau tadarus, justru dipakai untuk ngabuburit berburu kuliner instan untuk buka puasa dan sahur.
Banyak waktu yang saya sia-siakan dengan tidur di siang hari dengan dalih ibadah dan memindahkan pola makan besar ke malam hari. Tak heran, saat Ramadhan berakhir, berat badan semakin bertambah karena sifat pemalas yang bertambah pula.
***
Alhamdulillah, saya selalu bersyukur bahwa sampai saat ini, Allah SWT masih memberikan waktu untuk bertemu dengan bulan suci Ramadhan.Â
Tidak ada jaminan bahwa saat ikut berpuasa menahan lapar dan haus setelahnya akan mendapat ganjaran surga atau pahala.
Kita semua diwajibkan berpuasa seperti halnya kaum yang beriman sebelumnya di bulan Ramadhan ini agar semata kita semua menjadi umat yang bertaqwa. Iya, umat yang bertaqwa.
Masihkah kita perlu berargumentasi dengan berdalih apapun demi nafsu duniawi kita sebagai insan yang berakal?Â
Sungguh, sejatinya manusia diciptakan dalam keadaan yang merugi, kecuali hanya mereka bagi golongan yang beriman.
Selamat menjalankan ibadah puasa, sahabatku semua ! Semoga, kita kelak adalah pemenangnya dan dipertemukan bulan suci Ramadhan selanjutnya dan selanjutnya!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H