Dengan bibir sedikit menggerutu pelan juga umpatan meski dalam hati, saya berusaha untuk tetap sabar, berfikir tenang dan fokus pada jalan raya. Ada kejadian di mana saya terpaksa harus datang terlambat ke kantor hari itu.Â
Seperti pada hari kerja biasanya, saya selalu mengantarkan istri terlebih dahulu ke kantornya yang berlokasi di pinggiran kota, baru saya menuju kantor saya sendiri.
Pagi sekali, jalan milik Provinsi itu sudah  macet karena ada sistem buka tutup jalan oleh petugas. Semua itu karena ada tenda untuk hajatan pernikahan yang terpasang hampir separuh dari median jalan.
Apalagi dengan beberapa bangunan sekolah di sekitarnya dengan posisi dekat pertigaan serta pasar tradisional. Dengan situasi seperti itu, rasanya lengkap sudah penderitaan para pengguna jalan raya karena antri dalam kemacetan.
"Memang di Indonesia ini, kepentingan umum bisa atau boleh dikalahkan oleh kepentingan individu atau pribadi!?"
Untuk beberapa saat, pikiran saya kembali dan teringat dari anak asuh saya yang bernama Katrin Voss. Dia tinggal di rumah saya selama mengikuti program 1 tahun untuk pertukaran pelajar setingkat SMA di Indonesia.
Kalimat pertanyaan dari Katrin dalam Bahasa Indonesia dengan aksen dan logat Jermannya itu terlontar lepas di dalam mobil saat saya ajak untuk menghadiri satu acara di kota lain di hari libur akhir pekan.
Sebagai orang tua asuhnya, saya sebenarnya juga ingin lebih mengenalkan budaya dan bahasa Indonesia padanya selama bersekolah di sini.Â
Saat dalam perjalanan, Katrin merasa heran karena mobil kami harus terpaksa berhenti beberapa waktu karena ada tenda hajatan pernikahan yang hampir menutup separuh jalan.
Dari raut wajahnya yang cantik, ada kegalauan akan budaya pernikahan yang menggunakan fasilitas umum dan akhirnya, saya pun menjelaskan bahwa saat "Wedding Season", kondisi jalan raya di Indonesia akan sering macet bahkan bisa menjadi lebih parah lagi.
Saya jelaskan juga bahwa itu adalah bentuk Toleransi Budaya di Indonesia. Lagi-lagi, pertanyaannya yang kedua juga tidak bisa saya jawab.Â
"Toleransi itu bagus, tapi kalau kebablasan itu menjadi budaya yang buruk!"
Rasanya, apa yang Katrin sampaikan itu benar adanya. Kita menyadari bahwa menggunakan separuh jalan raya, apalagi menutupnya serta mengalihkan arus lalu lintas umum untuk melewati jalan lain demi kepentingan pribadi, rasanya ada sedikit perasaan bersalah juga.
Mereka yang punya hajat hanya berharap bahwa masyarakat umum harus tunduk pada kepentingan pribadinya dan hal itu tidak pernah dibenarkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun, sekali lagi, sepertinya semua pihak yang dirugikan hanya bisa mahfum sambil mengelus dada dan mengalah.
Menutup jalan umum itu ada regulasi yang mengaturnya. Proses perizinan bisa mulai dari tingkat Rukun Tetangga, Kelurahan, Kecamatan baru kemudian ke Kepolisian, melalui Polsek atau Polres setempat. Juga harus dijelaskan berapa hari lamanya tenda itu akan dipasang
Lagi, perlu memperhatikan klasifikasi jalan bila akan dipasang terop/tenda pernikahan. Apakah jalan raya utama milik Provinsi, yaitu satu-satunya jalan untuk lintas antar daerah. Klasifikasi jalan lain adalah jalan milik kotamadya atau kabupaten. Terakhir, adalah klasifikasi jalan di pedesaan.
Toleransi saat jalan desa digunakan, rasanya masih terasa besar karena ada perasaan ewuh pakewuh (sungkan) bila melarang. Apalagi yang mengajukan izin adalah sosok pejabat atau tokoh masyarakat. Dijamin sulit untuk menolaknya deh!
Solusinya, arus akan dialihkan ke jalan lainnya dan itu masihlah memungkinkan bila di desa. Hal yang sama juga berlaku saat kita tinggal di kompleks perumahan meskipun di perkotaan.
Namun, toleransi perizinan yang diberikan saat menutup jalan raya utama Provinsi dan mengalihkannya ke jalan kabupaten, bahkan desa adalah bentuk toleransi yang keblabasan. Harusnya, pihak berwenang yang memberikan izin harus berani dan tegas untuk menolak permohonan itu.
Sebaiknya disarankan ke gedung atau balai pernikahan yang tidak mengganggu arus utama jalan raya. Jangan karena ada pembayaran pada proses pengajuan"perizinan" mendirikan tenda hajatan, terus semua menutup mata.
Saya pernah mengalami penutupan jalan secara total saat bepergian keluar kota karena ada tenda hajatan pernikahan itu tadi yang padahal juga termasuk klasifikasi jalan utama. Sedihnya, jalan untuk pengalihan arus, dilewatkan pada kondisi jalan yang berbatu dan berlumpur di area persawahan.
Anda bisa tebak selanjutnya, saya serasa Off- Road dengan mobil jenis mobil keluarga. Saya tidak berani membayangkan bila toleransi yang kebablasan itu kelak juga akan dimungkinkan menutup jalan TOL (Tarif On Location) demi dipasang tenda pernikahan.
"Membiarkan kebiasaan yang salah, selanjutnya menjadi pembiasaan dan dampaknya dianggap pembenaran dengan mengatas namakan sebagai suatu bentuk toleransi"
Salam hormat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H